Wawasan Sosial
Penindasan Negara Terhadap Umat Islam
Oleh: Moh. Syafe'i
Sangat susah untuk tidak mengatakan bahwa Negara tidak menindas umat Islam. Kita ketahui sampai saat ini berbagai survey di Indonesia masih secara tegas mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia ialah mayoritas. Lebih 80% penduduk Indonesia dihuni oleh mereka yang beragama Islam. Walaupun pemegang kebijakan eksekutif, legislatif dan yudikatif ialah mereka juga yang mengaku Islam. Namun posisi mereka ialah pemegang kebijakan (state) sedangkan masyarakat muslim yang menjadi korban merupakan warga negara (civil society).
Memang harus kita akui bahwa masyarakat muslim tidak bisa digeneralisasi dalam satu kutub kekuatan. Misalkan beberapa pengamat baik dari barat maupun internal Islam masih berpandangan bahwa umat Islam terpecah menjadi beberapa kutub ; Islam modernis dan tradisionalis, Islam Kultural dan struktural, Islam priyayi, abangan dan santri. Bahkan Luthfi Assyaukanie seorang penggerak Islam liberal di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa musuh utama dari gerakan pembaharuan Islam adalah kelompok konservatisme dan fundamentalisme. Konservatisme menjadi musuh karena menjadi penghalang dari gerakan liberalisme sejak pertama muncul. Sedangkan fundamentalisme menjadi musuh karena ia lahir dari konstelasi Islam politik.
Disamping itu kita harus akui bahwa gerakan Islam saat ini terpecah cukup banyak sekali. NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, MMI, Anshorut-Tauhid dan sangat banyak lagi lainnya. Sangat susah untuk mengeneralisasi umat Islam. Tulisan ini tidak ingin terlibat dalam hiruk pikuk kutub-kutub gerakan keagamaan itu tetapi ingin meletakkan umat Islam sebagai warga sedangkan penguasa sebagai pemangku kebijkakan. Umat Islam mempunyai hak-hak dan Negara bertanggungjawab pemenuhannya.
Jika umat Islam mengalami kekerasan dan dilanggar hak-haknya oleh Negara maka umat Islam layak ditempatkan sebagai korban. Secara definisi dalam Deklarasi Prinsip Keadilan bagi Korban Kejahatan Penyalahgunaan kekuasaan yang disebut korban ialah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk secara fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).
Dengan terminologi ini, penulis akan mencoba melukiskan sekian peristiwa kekerasan dan pelanggaran terhadap umat Islam yang dilakukan Negara khususnya di era orde baru. Karena di era orde baru inilah penghancuran umat Islam terjadi sistematik. Kekerasan dan pelanggaran ini cukup menghebohkan dimasanya. Tetapi kasus-kasus tersebut banyak yang tidak terekam dalam memori publik dan seakan dihapuskan dari jejak sejarah gelap kekuasaan Indonesia.
Kekerasan Sipil-Politik
Ada sebuah menarik berjudul “Derita Kaum Muslimin di Indonesia Sejak 1980-2000” ditulis oleh Al-Chaidar dan Tim Peduli Tapol Internasional. Buku ini merekam kejadian kekerasan yang menimpa kaum muslimin di Indonesia di era orde baru. Dikatakan dalam pengantarnya :
“…Kaum muslimin bangsa Indonesia, tinggal menuai badai-menghitung korban tragedi. Darah tertumpah, air mata pilu, wanita diperkosa, anak-anak menjadi yatim piatu, harta benda dijarah atau dibakar musnah. Semuanya berpadu dalam tragedi akibat bencana yang menimpa kaum muslimin, sejak peristiwa Tanjung Priok (1984), Lampung-Talang Sari Berdarah (1989), DOM di Aceh (1989) hingga Ambon (1999) dan Maluku Utara (2000). Seluruh peristiwa ini terjadi, bukan lantaran kaum muslimin ikut menabur angin, lalu akhirnya menuai badai, melainkan karena amanat kepemimpinan bangsa ini tidak berada di tangan mereka yang berhak menerimanya. Karena itu dia tidak menunaikan amanah tersebut secara benar, maka bencanalah yang akan timbul”
Uraian yang cukup menyayat hati. Tragedi kemanusiaan itu telah menelan korban yang cukup banyak. Ribuan bahkan. Selain kasus yang ada diatas masih banyak kasus kekerasan yang lain sebutlah Komando Jihad yang menelan ribuan korban aktifis Islam di seluruh Indonesia, Pembajakan Woyla, pembunuhan ulama’ di Banyuwangi, kasus usroh, penangakapan aktifis Islam akibat asas tunggal dan lainnya.
Berbagai peristiwa itu diliputi oleh penangkapan, kekerasan dan kesewenang-wenangan. Termasuk salah satunya terlihat dalam rekayasa putusan hukum para korban. Pengadilan yang menjadi tempat bergantungnya keadilan dan kebenaran ternyata telah menjadi alat kekuasaan yang lalim. Itu tergambar secara jelas dalam kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, Pembajakan WOYLA (1982), Peledakan BCA (Oktober 1984), Pengeboman Candi Borobudur di Magelang, Peledakan Bis Pemudi Ekspres di Malang (1984), kasus Pesantren Kilat di Malang (1985), dan Gerakan Usroh di Jateng dan DIY tahun 1986.
Kasus kekerasan sipil yang menimpa umat Islam tidak bisa dilepaskan dari politik kekuasaan orde baru. Umat Islam yang mayoritas pasti mempunyai kekuatan politik yang besar. Pasca krisis orde lama dan dihancurkannya komunisme, tokoh-tokoh Islam secara sadar punya potensi maju dalam kepempimpinan Indonesia. Perihal inilah yang menjadi dasar rekayasa sistemik penghancuran umat Islam. Bahkan lembaga CSIS salah satu think-thank orde baru yang dibidani Ali Murtopo menyebut Islam sebagai faktor penghambat pembangunan di Indonesia. Ali Murtopo yang juga seorang OPSUS menyebut tahun 1970-an sebagai tahun yang menentukan untuk membangun Indonesia. Rekayasa-rekayasa penghancuran itupun dimulai. Aktifis Islam di era orde baru distigmakan sangat jelek dan menakutkan. Banyak tokoh dan aktifis Islam yagn dipinggirkan, ditangkapi dan dipenjara secara sewenang-wenang. State discourse dan terorisme betul-betul nyata terhadap umat Islam di era rezim orba.
Termasuk aktifitas politik tokoh-tokoh Islam dipantau sedemikian rupa. Aspirasi politik umat selama orde baru dikerdilkan habis-habisan. Ketika ada pemilu selalu ada pembohongan, rekayasa dan manipulasi data. Golkar sebagai partai penguasa tidak pernah terkalahkan. Walaupun kita tahu umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Negara dengan kekuatan militernya terlihat kuat, tertib dan tanpa kritik.
Bencana Ekonomi Publik
Kondisi Negara di era rezim orba yang begitu dominan dan hegemonic mengantarkan pada sistemiknya privatisasi Negara. Rezim orba menjelma sebagai Negara yang clientist dan koruptif. Otoritas dan kewenangan kenegaraan diarahkan untuk memperkaya elit dan keluarga besar penguasa. Perusahaan-perusahaan internasional dan nasional menjadi clien strategis Soeharto dan keluarganya. Diantara mereka ada Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan di dunia internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan banyak lagi lainnya.
Umat Islam yang mayoritas di Indonesia jelas tidak lagi mendapatkan hak-hak ekonominya. Kekayaan Negara berputar dan menumpuk di area keluarga besar Soeharto dan clientnya. Ketimpangan kaya dan miskin mulai terlihat, aset-aset bangsa diperjual belikan blak-blakan, penggusuran atas nama pembangunan mulai terjadi, dan kebijakan ekonomi pasar dibangun serius oleh teknokrat Berkeley di kementrian. Atas skandal itu, rezim Soeharto dikasih sebutan “Macan Asia” dan dipuja-puja oleh clientnya Amerika.
Aktifis Islam yang mencoba kritis terhadap kebijakan ekonomi Soeharto ditangkapi. Kaum buruh yang menentang kesewenang-wenangan perusahaanpun dihancurkan. Mungkin kita masih ingat dangan kasus Marsinah, peristiwa Malari dan Waduk Kedungombo. Segelintir peristiwa yang terjadi akibat perlawanan dan pergolakan akibat ketidakadilan kebijakan negara. Hebatnya dalam kasus tersebut Negara menggunakan tangan besinya untuk membunuh penentangnya. Marsinah dibunuh tanpa ampun. Aktifis yang terlibat di Malari ditangkapi secara represif. Demikian juga terhadap warga di Waduk Kedungombo. Kebijakan developmentalisme di era rezim orba juga berjalan tanpa hambatan, horor dan sangat kejam.
Puncak Kekerasan Terhadap Umat
Setelah sedemikian lama Negara menindas rakyatnya. Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan. Akhirnya itu memuncak ketika menjelang tahun 1998. Negara orde baru yang telah clientist dan koruptif mengantarkannya pada krisis ekonomi yang sangat akut. Kebijakan ekonomi pembangunan yang dirancang teknokrat ekonom berkeley hancur. Krisis moneter dunia meluluhlantakkan perekonomian Indonesia. Sembako dan kebutuhan publik menjadi sangat mahal sedangkan subsidi Negara tidak memungkinkan.
Krisis salah urus kebijakan inilah yang mengantarkan Soeharto menjual Indonesia kepada IMF yang dari dulu memang sudah menjadi partnernya. Soeharto meminta IMF pada tanggal, 8 oktober 1997 yang kemudian meminta Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan dengan IMF bertanda tangan dalam sebuah Letter of Intens, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah mempertegas posisi IMF untuk menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia.
Krisis yang bermula akibat pembangunan mikanisme pasar di era orba dan peneguhan positioning IMF kembali di tahun 1997, membuktikan kebegisan dan kekejaman rezim orde baru. Orde baru secara sadar telah menggadaikan Negara dan memperjualbelikan rakyatnya. Krisis demi krisispun terjadi sedemikian dahsyatnya. Mulai dari lepasnya Negara mengurus kebutuhan rakyatnya, asset-aset diperjualbelikan, dan proyek militer terus ditingkatkan.
Dampak kekerasan itu semua saat ini terjadi peningkatan kaum miskin yang sangat besar, eskalasi pembunuhan, kebodohan, eksploitasi bumi, pencemaran dan kekerasan yang semakin menggila. Efendi Sirajudin dalam bukunya “Memerangi Sidrom Negara Gagal “ menyatakan :
“Sudah lebih dari enam dasawarsa Indonesia Merdeka, tetapi perjalanan panjang bangsa tidak bergerak menuju tatanan kehidupan sebagaimana yang dulu dicita-citakan oleh para pendiri ripublik. Sejauhmata memandang, dihampir semua sektor kehidupan dewasa ini tersaji potret dengan wajah buram. Era reformasi yang sempat menerbitkan harapan bagi dimilikinya landasan kokoh untuk melakukan perubahan, ternyata tidak berjalan pada track yang benar. Indonesia bahkan terancam menjadi Negara gagal (failed states)”
Umat Islam sebagai mayoritas masyarakat di Indonesia dengan kondisi Negara yang menyedihkan ini tentunya mereka telah didzalimi dan dilanggar hak-haknya. Mereka dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang menindas dan penuh kekerasan. Minimal dua hal yang kita bisa lihat secara telanjang, pertama, saat ini umat Islam secara sistemik menjadi korban karena dipaksa hidup dalam manajemen dan sistem ekonomi negara yang sangat kapitalistik (ribawi). Agama Islam jelas menentang ideologi ribawi dan hukum seorang muslim yang melaksanakannya haram. Kedua, umat Islam sampai saat ini masih menjadi korban kekerasan Negara dengan masih dihidupkannya penstigmaan dan penangkapan sewenang-wenang dengan tuduhan terorisme. Sungguh menyakitkan.
Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 15:59 0 komentar
Label: Wacana, Wawasan Sosial
28 Agustus 2009
Politik dan Budaya Kekerasan
Oleh: M. Habibi
Belakangan ini kita terlalu sering disuguhi oleh pemberitaan tentang kekerasan-kekerasan, khususnya yang terjadi di Indonesia, baik melalui media cetak maupun tayangan-tangan di media elektronik audio-visual. Saben hari kita “dipaksa” untuk menonton pemberitaan-pemberitaan tentang pembunuhan, pemerkosaan, penggusuran para pedagang kaki lima (PKL), perkelahian antar warga sampai tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Contoh kasus terkini adalah penembakan di Papua, pengeboman yang terjadi di Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton. Peristiwa pengeboman tersebut juga mengingatkan kita kembali pada peristiwa pengeboman yang terjadi di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu, kemudian di Bali, baik itu Bom Bali I maupun Bom Bali II yang telah banyak memakan korban jiwa. Belum lagi konflik antar daerah, antara suku yang terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Dan entah, berapa banyak lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi dengan berbagai macam bentuknya.
Dalam satu forum budaya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun melontarkan satu pertanyaan, apakah konflik, kekerasan yang terjadi di Indonesia ini adalah merupakan geniun budaya Indonesia, atau ada faktor lain yang di luar itu yang menyebabkan manusia Indonesia melakukan kekerasan?
Mendefinisikan Kekerasan
Kekerasan biasa diterjemakan denan kata violence yang berkaitan erat dengan gabungan kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari feree, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan berarti sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan.
Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. (I Marsana Windhu: 1992). Definisi ini berpijak pada pikiran bahwa manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya yang merupakan bahan untuk pertumbuhan pribadinya. Sementara pertumbuhan pribadi merupakan integritas diri (self) soma, dan fisik manusia. Apabila potensi-potensi diri manusia tersebut tidak teraktualisasi, maka di sanalah terjadi kekerasan. Aktualisasi tersebut bisa dalam bentuk aktifitas berfikir, termenung dan aktifitas yang nampak oleh kasat mata. Aktualisasi potensi juga menuntut terpenuhinya prasyarat pertumbuhan pribadi berupa kebebasan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan, karena hanya dengan itulah potensi-potensi manusia dapat teraktualisasi dan pribadi akan tumbuh secara manusiawi.
Macam-Macam Kekerasan
Dari pengertian di atas, segala sesatu yang menghalangi proses aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi bisa disebut sebagai kekerasan. Dari sinilah Galtung membagi kekerasan menjadi dua jenis. Pertama kekerasan langsung. Kekerasan ini juga sering disebut sebagai kekerasan personal, yaitu kekerasan ini yang dilakukan oleh satu atau sekelompok actor kepada pihak lain (“violence-as-action) (Mohtar Mas’oed:1997). Kekerasan langsung, dengan demikian, dilakukan oleh seseorang ata sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan dan seringkali berakibat fisik. Dalam kekerasan ini juga jelas siapa subjek dan siapa objek, siapa pelaku siapa korban.
Kedua kekerasan tidak langsung. Galtung menyebut kekerasan ini sebagai kekersan struktural. Kekerasan ini merupakan “built-in” dalam suatu struktur (“violence-as-structure). Kekerasan ini lebih banyak terjadi pada ranah pskis, meski beberapa juga pada ranah fisik. Apabila dalam kekerasan langsung jelas siapa subjek dan objeknya, maka dalam kekerasan tidak langsung atau struktural tidak jelas siapa subjek atau pelakunya. Adanya kasus gizi buruk yang berujung pada ketidaknormalan pertumbuhan diri atau bahkan kematian, bukanlah disebabkan oleh kejahatan seseorang atau sekelompok orang, melainkan akibat dari struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik yang timpang dan tidak adil. Inilah kekerasan stuktural.
Kekerasan di Indonesia
Tulisan ini tidak akan cukup jika penulis harus mendata kekerasan yang terjadi di Indonesia, meski itu sebatas kurun waktu pasca reformasi. Namun untuk membicarakan kekerasan perlu kita melacak akar kesejarahan kekerasan di negeri ini.
Berbicara kekerasan di Indonesia, seringkali kita mengacungkan jari telunjuk menunjuk pada rezim Orde Baru sebagai biang keladi semua kerusuhan yang ada. Namun cukupkah segala kesalahan itu dilemparkan hanya kepada orde baru? Belum tentu, kita ahrus menilik pada masa sebelumnya sampai pada masa colonial.
Kekerasan memang tidak dimulai dari masa colonial, tetapi kolonialisme secara signifikan telah memproduksi kekerasan ke dalam sistemsistem yang berdaya jangkau lebih luas dari pada sekedar lokalitas kerajaan-kerajaan tradisional, berdaya paksa lebih kuat, dan lebih tahan lama. Henk Schulte Norholt melacak bahwa kekersan yang terjadi berawal dari penggunaan jago (preman desa) untuk menjaga wibawa, menghadapi perlawanan rakyat. Pemerintah colonial bekerja sama dengan kriminal untuk kepenting-kepentingannya, sementara para preman dibiarkan untuk beroprasi asal tidak jelas-jelas melanggar hukum (B. Bahri Juliawan: 2003). Model semacam inilah kemudian yang diwarisi oleh penguasa pasca kolonial sampai dengan saat ini. Pada pemerintahan Orde Baru, preman-preman dipelihara sebagai kendali kebijakan pemerintah, namun setelah tentara kuat, para preman ini dibasmi. Tentara kemudian menjadi alat kekerasan negara. Pada masa-masa akhir 80-an banyak orang-orang yang hilang misterius dikarenakan mereka dianggap menentang pemerintah. Semua itu dilakukan atas nama stabilitas nasional.
Penggunaan militer sebagai alat kekerasan negara pasca reformasi memang berkurang, namun bukan berarti penggunaan-penggunaan kekuatan semacam itu tidak ada. Kekuatan-kekuatan tersebut bermutasi menjadi kekuatan sipil yang menyerupai militer sebagai alat negara untuk tameng negara untuk melakukan kekerasan, penggusuran dan hal yang serupa.
Jika dicermati masa pasca kolonial tadi, dapat dilihat bahwa kekerasan digunakan untuk melanggngkan kekuasaan. Kekersan telah menyatu dengan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, kekerasan seperti ini sengaja dipelihara. Inilah yang oleh Jean Baudrillard sebagai simulakrum kejahatan, yaitu kekerasan, horror, dan terror yang diciptakan sedimikian rupa, sehingga ia tampak seolaholah terjadi secara alamiah, padahal direkayasa (Yasraf A. Piliang: 2005). Kekerasan-kekerasan tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah bisa menjamin keamanan rakyatnya. Kekerasan diciptakan sedemikian rupa, sehingga muncul imag kelompok tertentulah yang melawan pemerintah, melawan negara, dan meraka harus dibasmi.
Akibat semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, kekerasan pun semakin kompleks. Kekuasan dan kekerasan yang ada dibaliknya dilengkai teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi. Kekerasan ditutup topeng dan tirai. Kekerasan yang mutakhir yang didukung oleh kecanggihan teknologi adalah terorisme. Bukan hanya karena dia menggunakan bom, tetapi manajemen perencanaan juga dengan manajemen tinggi. Sampai saat ini baru diketahui siapa yang melakukan peledakan bom, namun tidak diketahui siapa dalang sebenarnya. Kalaupun ada, itu sebatas tuduhan, karena pada kenyataan ada missing link. Terorisme, ketika sudah bersentuhan dengan teknologi informasi, menjadi satu simbol yang melahirkan makna. Makna itu misalnya bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Makna ini bisa ditukar misalnya dengan akses investigasi Negara lain ke wilayah Indonesia. Di sini kemudian terjadi erseingkuhan antara Negara dan kepentingan asing. Hal ini biasanya merugikan rakyat, karena sebagaimana Undang-Undang anti teror yang diadopsi dari Negara lain ternyata memberikan kesempatan kepada aparat untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
Secara psikologis, kekejaman yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama dapat meimbulkan trauma pada korban, pada orang yang menyaksikan, atau bahkan pada pelaku sendiri. Lewat perjalanan yang panjang, setiap orang didik untuk mempunyai inisiatif sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan. Kekerasan telah menjadi bagian akrab dari keseharian kita, seolah-olah setiap kali hendak menyelesaikan masalah serta persoalan satu-satunya pilihan adalah kekerasan (B. Bahri Juliawan: 2003). Kekerasan telah menjadi kebiasaan. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan atau kejahatan yang banal, yaitu praktik kejahatan yang dijalankan bagaikan menjalankan aktivitas sehari-hari yang tidak disadari (Sindhunata: 2007). Hal ini mungkin dapat dilihat dari siaran-siaran media masa. Hampir setiap hari masyarakat kita mendengar berita tentang pembunuhan. Tidak hanya sebatas itu, kita juga disuguhi modus dan cara-cara pembunuh itu melakukan aksinya menghabisi korban. Kita disuguhi bagaimana pembunuh itu menyembelih korbannya, menguburnya.
Banalitas kejahatan ini akan semakin berkembang di masyarakat seiring adanya krisis legitimasi. Menurut Jurgen Habermas, krisis legitimasi (moral) ini menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap sering mempercontohkan tindakan-tindakan melanggar moral (Yasraf A. Piliang: 2007). Rakyat tidak lagi percaya kepada Presiden, DPR, ABRI, Polisi, Gubernur, Bupati, Camat atau kepala desa. Berapa banyak contoh-contoh perilaku amoral yang dilakukan oleh para penguasa. Sebagai contoh adalah perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang korup, suka bermain wanita, adu otot dengan anggota dewan lainnya, sehingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menganggap DPR sebagai Taman Kanak-kanak, atau malah Play Group.
Mungkin puisi kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana karya Musthofa Bisri atau Gus Mus cukup untuk menggambarkan hal tersebut. Gus Mus menulis:Aku harus bagaimana //Aku Kau suruh menghormati hukum // Kebijaksanaanmu menyepelekannya // Aku kau suruh berdisiplin Kau mencontohkan yang lain. . . . Kau ini bagaiman // Kau suruh aku menggarap sawah // Sawahku kau tanami rumah-rumah // Kau bilang aku harus punya rumah // Aku punya rumah kau meratakkannya dengan tanah // Aku harus bagaimana // Aku kau larang berjudi // Permainan spikulasimu menjadi-jadi // Aku Kau suruh bertanggungjawab // Kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bish shawab.
Secara puitis Gus Mus menggambarkan bagaimana mungkin rakyat akan mengikuti imbauan-imbaun penguasa, pada saat yang sama para penguasa itu melanggar apa yang mereka katakan. Diibaratkan tangan kanan pemerintah membawa roti sementara tangan kirinya membawa pukulan. Rotia tiada seberapa mengenyangkan, namun kepala babak belur oleh pemukul. Dari kutipan terakhir pusi tersebut, Gus Mus ingin mengatakan bahwa penguasa tidak mau bertanggungjawab atas keputusan dan kebijakannya, atas nasib rakyatnya. Inilah yang menyebabkan rakyat acuh-tak acuh lagi terhadap seruan penguasa.
Di samping itu, krisis legitimasi terjadi karena negara telah banyak melakukan, kembali pada definisi Galtung, kekerasan struktural. Kekerasan ini menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. Hal ini nampak pada ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untu mengambil keputusan mengenai distribusi sumberdaya pun tidak merata (I Marsana Windhu: 1992). Berkumpulnya sekitar 80 persen rupiah di Jakarta adalah bukti tidak meratanya pembangunan. Daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, seperti Papua dan Aceh, justru menjadi daerah paling miskin dan tertinggal. Berpuluh-puluh jalan tol dibangun di Jakarta yang luasnya tidak seberapa, tetapi berapa puluh kilo meter jalan di Kalimantan dan Papua masih tanah yang ketika hujan berlumpur dan ketika musim kemarau ditutupi oleh debu. Desentralisasi politik memang telah dilakukan, tetapi tidak demikian dengan desentralisasi kesejahteraan. Kita masih sering mendengar berita tentang busung lapar, gizi buruk di bagian negeri ini yang kono adalah negeri gemah ripah loh jenawi, toto tentren kerta raharja. Busung lapar, gizi buruk adalah penghambat proses aktualisasi potensi diri manusia, padahal sebenaranya hal tersebut dapat dicegah atau diatasi. Karena hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan kelangsungan dan kelestarian hidup, kebebasan, kesejahteraan maka hal ini termasuk pada kekerasan struktural.
Kekerasan struktural, sebagaiman sifatnya, dia mencakup lingkup yang luas. Namusn selalu saja, masyarakat bawah yang selalu menjadi korban. Para petani telah sekian lama mengalami kekerasan ini. Lahan pertanian yang semakin sempit, karena lahan-lahan tersebut kini beralih fungsi sebagai perumahan, perkantoran atau jalan tol. Mereka lebih sengsara oleh karena mahal dan minimnya pupuk. Dan laksana jatuh tertimpa tangga, ketika panen hasil penen mereka dibeli dengan harga oleh pemerintah atau oleh monopoli para pemodal.
Masyarakat bawah yang sering menjadi korban adalah kaum miskin kota. Mereka tidak mendapat akses pekerjaan. Pengangguran merajalela. Dalam kondisi seperti ini mereka sering mendapatkan terror, penggusuran oleh aparat, dengan dalih keindahan dan kebijakan. Dalih untuk kebaikan dan kesejahteraan ini juga yang sering digunakan untuk melakukan penindasan kepada rakyat. Kasus tukar guling sebuah sekolah di Sampang Siantar menjadi satu bukti bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah tidak benar-benar memihak kepada rakyat, tetapi kepada pemodal. Ini diketahui setelah ternyata lokasi sekolah tersebut akan dijadikan sebagai pusat perbelanjaan. Sepanjang kekuasaan mengabdi kepada pemodal, bukan kepada rakyat, maka kekerasan struktural ini akan masih tetap eksis, karena rakyat hanya bagian dari mesin penghasil uang, dan pemerintah tidak ubahnya panitia dari hajatan besar bernama pasar bebas. Masyarakat yang berorientasi pada kapital, pasar, maka gaya hidupnya pun akan beroreintasi pada materialisme. Orientasi masyarakat ini adalah menumpuk keuntungan yang sebesar-besarnya lewat produksi dan konsumsi, tanpat terlalu ambil pusing dengan persolan-persoalan moral, idiologi, dan spiritual dalam proses produksi dan konsumsi tersebut.
Kekerasan dan Masa Depan Bangsa
Kekerasan yang telah lama terjadi dan dilakukan secara terstruktur menjadikan bangsa ini lupa terhadap nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Di kalangan masyarkat yang tersisa adalah rasa saling curiga. Masyarakat yang semacam ini akan sangat mudah tersulut konflik dan akan terjadi kekerasan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dan bangsa ini akan terus dihantui oleh horor-horor kekerasan. Untuk itu perlu segera ada langkah untuk mencegah terulang sejarah-sejarah kelam bangsa ini. Harus ada pendekatan yang holistic terhadap peristiwa kekerasan. Segala kekerasan harus dilihat dalam rangka kekerasan yang lebih luas, yaitu kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan cultural, kekerasan simbol, kekerasan media dan kekerasan lainnya.
Dalam hal ini, Richard A. Falk, sebagaimana dikutip I Marsana Windhu (1992), mengajukan empat nilai yang akan menjadikan kehidupan lebih baik, yaitu a) Usaha meminimalisasi kekerasan Kolektif, b) maksimalisasi sosial dan ekonomis, c) realisasi hk-hak asasi dan keadilan politik dan d) rehabilitasi, menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, penggalian kepada kearifan-kearifan budaya lokal. Lembaga-lembaga moral, cultural, spiritual dibutuhkan unutk menjembatani dialog dan membuka ruang public, sehingga terwujud kedewasaan demokrasi.
M. Habibi, Kabid Ukhuwah dan Jaringan KP HMI Cab. Yogyakarta.
Tulisan ini telah dimuat dalam MAJALAH "ISRA" PUSHAM UII Edisi Juli 2009.
Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 03:26 0 komentar
Label: Wacana, Wawasan Sosial
23 Juni 2009
Melawan Sang Penindas, Membela Yang Ditindas
Oleh: Ihab Habidun
Betapa sering kita mendengar suara adzan…Allahu Akbar!Allahu Akbar!...Namun, apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan isi panggilan itu?... AllahuAkbar bermakna(dalam bahasa yang tegas):berilah sanksi pada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecahbelah umat!Carilah ilmu sampai ke negeri Cina…berikan kebebasan, bentuklah majlis syura yang mandiri, dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar! (Raif Khoury)
Melawan adalah kata yang sering dipelintir. Melawan sering diasosiasikan secara negatif. Melawan sering disebut memberontak, mengganggu, dan merusak. Orang yang melakukan perlawanan sering dikatai pengacau situasi, pengganggu stabilitas, dan perusak tatanan. Pada masa Orde Baru, yang kritis dan melawan sering dicap PKI, golongan kiri atau komunis. Di masa SBY, orang yang mengkritik, memprotes, dan berdemonstrasi menolak kenaikan BBM dilabeli penghalang rezeki orang miskin. Tampaknya, segala yang berbau perlawanan terhadap yang mapan telah dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang negatif, yang perlu dipadamkan, disingkirkan dan dikuburkan.
Melawan sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Justeru dalam banyak hal, melawan adalah tindakan sadar untuk melakukan pembebasan agar kehidupan yang lebih baik tercipta. Melawan merupakan reaksi terhadap dominasi, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Tengoklah bukti-bukti perlawanan dalam sejarah dunia. Perlawanan rakyat perancis tahun 1789 karena penerapan monarki absolut dan penarikan pajak yang memberatkan rakyat, serta rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Perlawanan rakyat Iran tahun 1979 menentang rezim syah Reza Pahlavi yang korup dan menindas rakyat. Juga para pejuang kemerdekaan negeri ini yang melawan karena kolonialisasi, eksploitasi, dan tindakan biadab para penjajah yang menempatkan rakyat pribumi di kasta terendah.
Untuk sebuah pembebasan, gerakan perlawanan harus menanggung banyak korban. Ingatlah para pahlawan yang tercatat di buku-buku sejarah kita. Begitu banyaknya, sampai kita susah menghafalnya. Belum lagi, “pahlawan” yang tidak dianggap pahlawan. Karena dianggap kiri, radikal, atau tidak mempunyai posisi strategis. Termasuk ribuan hingga jutaan rakyat yang menjadi tumbal kebengisan meneer-meneer Belanda dan Jepang. Mereka itulah pahlawan sejati yang ikut mengantarkan negeri ini ke gerbang kemerdekaan.
Begitu mulianya sebuah perlawanan. Maka perlawanan adalah perjuangan. Perlawanan adalah keniscayaan. Untuk apa? Untuk menghapus setiap struktur yang menindas manusia. Agar manusia kembali pada kedudukannya sebagai manusia. Manusia yang tidak saling menindas. Manusia yang menghargai hak asasi. Manusia yang memanusiakan manusia. Bukankah doktrin agama mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kelompok selama kelompok tersebut tidak berupaya merubahnya?
Agama Perlawanan
Islam sendiri merupakan agama perlawanan. Muncul di tengah struktur masyarakat diskriminatif dan eksploitatif. Islam mendobrak, menentang, dan melawan segala yang mapan dan menindas waktu itu. Islam melawan segala bentuk ketidakadilan seperti, eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dominasi budaya dan gender, serta segala corak disequlibrium (ketidakseimbangan) dan apertheit (Mansour Fakih:2000).
Islam menentang penindasan. Ketika orang-orang kaya membuat siasat-siasat regulasi pengorbanan, yang sebenarnya hanya didistribusikan untuk orang-orang kaya dan penguasa suku-suku Arab, al-Qur’an mengecamnya sebagai penentuan yang buruk (QS. Al-An’am:136). Dan ketika mereka menumpuk-numpuk harta, al-Qur’an secara tegas mengancamnya dengan akan dimasukkan ke neraka Hutamah (QS. Al-Humazah: 1-9). Pun dengan mereka yang sukanya menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, diancam dengan siksaan pedih dan menyakitkan (QS. At-Taubah:34).
Islam menentang berbagai bentuk eksploitasi. Praktek riba yang eksploitatif dan hanya menguntungkan kaum borjuasi ditentang habis-habisan. Orang yang memakan harta riba diancam tidak bisa berdiri di hari kiamat (QS. Al-Baqarah:275). Bahkan begitu dibencinya praktek riba tersebut, Allah SWT dan Rasul-Nya menyiapkan genderang perang terhadap siapa saja yang tidak mau meninggalkan praktek riba (QS. Al-Baqarah: 279). Orang yang berbuat curang menakar dan menimbang dalam perdagangan dikecam akan mendapat kecelakaan yang besar (QS. Al-Muthaffifin: 1-5).
Islam menekankan keadilan distributif. Keadilan yang dikatakan Asghar Ali Engineer seratus persen berlawanan dengan tradisi penumpukan dan penimbunan harta kekayaan waktu itu. Al-Qur’an menganjurkan orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin, agar kekayaan tersebut tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7). Bagi yang punya harta berlebih dianjurkannya bershadaqah dan diwajibkan berzakat.
Islam melarang menghina orang miskin. Orang yang memberikan shadaqah pada kaum lemah harus dengan cara yang baik. Sekalipun shadaqah bersifat sukarela, al-Qur’an menitahkan supaya dalam memberi tidak menyinggung perasaan si penerima (QS. Al-Baqarah: 262-263). Memberi juga tidak boleh dimotivasi oleh keinginan untuk dipuji atau riya (QS. Al-Baqarah: 264). Memberi harus dilandasi keikhlasan. Memberi harus lepas dari logika pertukaran. Memberi adalah memberi, kata Jacques Derrida.
Islam membela kaum miskin, lemah dan terpinggirkan. Islam menyebut siapapun sebagai orang yang mendustakan agama, meskipun ia beragama, bila dalam tingkah lakunya menghardik anak yatim, tidak peduli orang miskin, serta tidak mau menolong dengan barang yang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7). Islam juga melindungi hak-hak buruh dari kaum-kaum yang mempekerjakannya. Nabi mengajarkan: berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering (Ibnu Majah).
Islam agama pemberontak. Ketika sebuah struktur masyarakat menindas; yang mapan mendominasi yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, kaum borjuis menghegemoni kaum ploretar, Islam berteriak lantang menyerukan perlawanan. Mengapa kamu tidak mau berpegang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau!”(Q. S. al-Qashash ayat 7).
Itulah nota-nota ajaran Islam yang sangat jelas. Fakta-fakta normatif yang revolusioner, yang menentang struktur masyarakat yang menindas, sekaligus ancaman bagi kemapanan kaum borjuasi. Bukti bahwa Islam membela kaum lemah dan terpinggirkan. Bukti bahwa Islam bukan pembela para elit melainkan orang alit. Bukti bahwa Islam bukan agama yang pro para pencekik melainkan membela wong cilik.
Sang Pembebas
Fakta-fakta normatif di atas sejalan dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Sang pembebas yang selalu siap menapaki jalan terjal dan menanggung resiko atas perlawanan yang ia lakukan. Abdurrahman asy-Syarqowi, seorang sejarawan terkenal menyebutnya sebagai pribadi yang mengagumkan, seorang pahlawan yang tidak pernah bergeming melawan kekejaman, kebrutalan dan kebengisan dalam berbagai kondisi, demi terwujudnya cinta kasih antar sesama manusia, keadilan, kebebasan dan masa depan yang sejahtera, serta tanpa diskriminasi.
Bahkan sewaktu remaja, jauh sebelum kerasulannya, telah tampak padanya bibit-bibit sebagai tokoh intelektual sejati (rausyan fikr). Rausyan fikr adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya (Ali Syari’ati:1986). Dalam dirinya mulai tertancap bangunan sense of social crisis yang mengagumkan. Bahwa hidup harus gelisah, harus bertanya, dan harus mencari kemungkinan jawaban atas berbagai problematika sosial. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Hidup juga untuk orang lain, untuk kaum miskin, lemah dan terpinggirkan.
Dari situ Nabi Muhammad mulai mengisolasi diri dan berkontemplasi. Bukan untuk lari dan memenuhi kepentingan sendiri. Bukan untuk mencari aman demi kenyamanan pribadi. Di situ Nabi Muhammad merenung dan mencari segenap alternatif bagaimana memecah kebuntuan sosial. Dan benar saja, di bawah lindungan Yang Maha Kuasa, sejak kerasulannya, Nabi Muhammad menyikapi kenyataan masyarakat Arab dengan tegas bahwa patung-patung hanyalah tipu muslihat dan kesesatan yang nyata. beliau menyeru bahwa Tuhan itu Maha Agung dari batas semisal Ka’bah, bahkan makkah. Dia di setiap tempat. Tak ada rupa bagi-Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Hanya dialah yang patut disembah. Di sisi-Nya tak ada diskriminasi antara hamba sahaya dan bangsawan-bangsawan terkemuka, antara si papa dan si kaya raya, dan antara pria dan wanita. Tuhan tidak mentolelir perzinahan, riba, pembunuhan, dan kesombongan. Dia mengutuk orang-orang yang menumpuk emas dan perak, tanpa mau mendermakannya pada fakir miskin. Dia akan membakar tubuh orang-orang yang suka mempermainkan hak-hak orang lain, yang suka mencuri sukatan dan timbangan. Dia juga meninggikan martabat orang miskin.
Bersama umatnya, beliau mulai membebaskan budak-budak. Sebagai pribadi, beliau tidak suka kenyang sendiri, sementara tetangganya kelaparan. Beliau membenci kebohongan dan kepalsuan. Tak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Tak pernah melakukan kepalsuan untuk mencuri keuntungan. Baginya, sebuah janji adalah suci. Karena itu beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang menyebabkan dijauhi orang.
Tapi, seperti guratan alam yang mudah ditebak. Melawan berarti mengundang resiko. Nabi Muhammad harus menanggung semua resiko. Oleh para penentangnya, tak jarang Nabi dilecehkan, dihina, dianggap gila, dan diancam pembunuhan. Nabi juga pernah di ludahi, dilempari batu dan kotoran. Bahkan di separo hidupnya ia harus siap di tebas di medan perang. Semua resiko itu dilakoni dengan penuh kesabaran dan konsistensi untuk mencapai dunia baru. Dunia yang adil dan beradab.
Langka
Namun, Budaya perlawanan dan kesiapan menanggung resiko adalah kisah langka di masa kini. Tumpukan data-data pembebasan adalah kisah usang yang hanya menempel di buku-buku sejarah keislaman. Islam yang membebaskan masih menempel di teks-teks agama yang belum banyak tertransformasikan dalam kehidupan masyarakat.
Sekarang adalah masa Islam di tarik-ulur dan diperdebatkan. Sekarang adalah masa Islam dijadikan arena saling sesat-menyesatkan. Islam adalah medan ritualisme dan simbolisme. Dimana penganutnya sudah merasa cukup kala ritual kegamaan sudah dilaksnakan. Merasa nyaman kala berbagai produk atau lembaga di stempel syariah. Islam adalah tumpukan penelitian kuntitatif-kualitaif dalam teks-teks skripsi, tesis, dan disertasi. Inilah zaman Islam dijual. Tema-tema keislaman dijadikan jargon-jargon politik. Amanah dan kejujuran dijadikan alat kampanye untuk mencari simpati publik. Produk-produk kebudayaan muslim dianggap komoditas yang menjanjikan dan dipakai hanya sebatas mode.
Tak aneh bila yang menolak undang-undang penanaman modal asing, yang menentang sewa murah hutan lindung, yang menolak pemberlakuan BHP, yang mati-matian membela hak-hak buruh, yang menolak keganasan korporasi-korposari asing, yang menolak proyek pasir besi, yang menuntut hak-hak korban lapindo, yang memprotes penjualan aset-aset Negara, hanyalah segelintir orang saja. Kekayaan yang hanya berputar di orang-orang kaya juga luput dari perhatian. Alih-alih keadilan distributif yang terjadi, justeru korupsi yang menjadi.
Pemilu pun tampak seperti ritualisme Machiavellian. Liberalisme politik dibungkus atas nama demokrasi. Semua orang berebut kekuasaan dengan segala cara. Tak urusan dengan money politik dan janji yang menipu. Pokoknya dapat duduk di kursi dewan. Urusan rakyat nanti kalau sudah kembali modal. Hasilnya, pemilu yang menghabiskan triliunan rupiah itu tampak seperti perlombaan gaya dan citra untuk menarik simpati publik. Pemilu adalah arena kebijakan populis dan jargon politis yang digunakan untuk mengelabui rakyat.
Anehnya, sedikit sekali kalangan muslim yang bercerita tentang kebobrokan demokrasi liberal tersebut. Sebagian malah berusaha mendukung dengan segenap pendapat dan fatwa, seolah inilah demokrasi yang sejati.
Bukan candu
Hal itu terjadi karena Islam dipahami secara dangkal, yaitu sebatas ritualistik dan simbolik. Itulah sebabnya, banyak orang berislam hanya dengan mengaku-aku lewat KTP. Cerita orang Islam korupsi, membohongi publik, menipu rakyat, mengobral janji yang tak ditepati, termasuk kelompok ini. Juga berislam yang puas memakai produk budaya Arab, sementara diam terhadap problem sosial. Mereka sigap menepis agama bukan candu, tapi menjadikannya agama seperti macan ompong yang meninabobokan rakyat.
Memang Islam bukan agama candu. Maka jangan dibuat candu masyarakat. Islam agama perlawanan bagi yang menindas. Maka jangan hanya rakyat disuruh bersabar. Islam juga Kiri Islam, kata Hassan Hanafi. Islam menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat islam, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama setara “seperti gerigi sisir” (Hassan Hanafi:1981).
Ali syari’ati mengatakan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian, Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan, dan penghapusan kemiskinan. Karena itu, Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya, lebih dari itu, ia sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Dan kini, kita membutuhkan paradigma Islam seperti yang diungkapkan tokoh-tokoh Islam pembebasan, seperti yang diungkap Asghar Ali Engineer, Ali Syari’ati, dan Hassan Hanafi. Islam yang berparadigma sosial kritis. Islam yang melawan sang penindas dan membela yang ditindas (Allahu a’lam bi al-shawab).
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Majalah isra PUSHAM UII Edisi April 2009.
Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 23:20 0 komentar
Label: Wacana, Wawasan Sosial
01 Februari 2009
Masyarakat madani Indonesia
Oleh: Mukhamad Habibi
Wacana masyarakat madani sebenarnya sudah sejak lama berkembang di Indonesia. Istilah ini mula-mula disampaikan Anwar Ibrahim dalam Festival Istiqlal pada tahun 1995. Meski demikian, penggagas awal masyarakat madani ini adalah Muhammad Naquib Al-Atas yang kemudian dielaborasi oleh Nurchalis Madjid. Masyarakat madani adalah satu citi-cita masyarakat ideal.
Menurut Naquib Al-Atas, Masyarakat madani adalah terjemahan dari al-mujtam’ al-madani. Kata madani sendiri memilki asal kata yang sama dengan ad-din atau agama yang juga merupakan asal kata dari tamaddun yang berarti peradaban. Di samping itu, kata madani jugu mempunyai akar yang sama dengan kata madinah yang berarti kota. Sehingga di sini ada keterkaitan antara agama (din), kota (madinah) dan peradaban (tamaddun). Masyarakat madani sendiri seringkali disamakan dengan isitlah civil society yang berasal dari khazanah pemikiran Barat. Civil society adalah masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang merdeka, masyarakat yang pauh pada hukum.
Masyarakat madani dalam pemikiran Islam merujuk pada masyarakat Islam generasi awal, yaitu masyarakat yang di bangun oleh nabi di madinah yang semula bernama Yatsrib. Penggunaan nama madinah sendiri untuk membedakannya dengan golongan Barbar yang hidup nomaden. Dirujuknnya masyarakat madani pada masyarakat madinah ini karena masyarakat Madinah memiliki toleran yang tinggi terhadap sesama masyarakat, penghargaan dan kepatuhan pada hukum atau kesepakatan bersama yang ditunjukkan oleh Piagam Madinah.
Merujuk pada isi Piagam Madinah Nurchalis Madjid melihat, setidaknya ada empat prinsip yang membangun masyarakat madani: Pertama egaliterian, yaitu persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga. Tidak ada kolompok atau golongan yang lebih tinggi dari yang lain. Kedua, penghargaan kepada masyarakat diberikan atas dasar prestasi. Ketiga, keterbukaan dan partisipasi masyarakat. keempat, supremasi hukum tanpa pandang bulu. Kelimaa, inklusivisme yaitu sikap keterbukaan, rendah hati dan toleransi. Keenam, musyawarah. Sejalan dengan Nurcholis Madjid, AS. Hikam merumuskan empat ciri utama masyarakat madani, yaitu, kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memilki kekhasan sosial-budaya. Merupakan fakta historis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majmuk, yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Masing-masin suku, budaya dan bahasa memiliki satu sistem nilai yang berbeda. Kemajemukan ini akan menjadi bencana dan konflik yang berkepanjangan jika tidak dikelola dengan baik.
Kebhinekaan dan kearifan budaya lokal inilah yang harus dikelola sehingga menjadi basis bagi terwujudnya masyarakat madani, karena masyarakat madani Indonesia harsu dibangundari nilai-nilai yang ada didalamnya, bukan dari luar. Dengan demikian, menurut Tilaar ciri-ciri khas masyarakat madani Indonesia adalah a). Kergaman budaya sebagai dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan identitas nasional, b). Adanya saling pengertian di antara anggota masyarakat, c). Adanya toleransi yang tinggi, dan d). Perlunya satu wadah bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum.
Perwujudan masyarakat madani indonesia adalah usaha holisitk yang mencakup a). aspek suprastrukur, yaitu bangunan paradigma tauhid, b). aspek sosial budaya yaitu adanya budaya masyarakat yang terdidik dan mandiri. c). Aspek struktur yaitu pada perbaiakan dan penguatan pada basis sistem kenegaraan. Wallahu a’lam bi masyarakat madani Indonesia.
Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 14:39 0 komentar
Label: Wacana, Wawasan Sosial
21 Januari 2009
Masyarakat Miskin Dalam Kawasan Muslim
Oleh: Abu Amar
Timbul pertanyaan dalam sanubari kita, apakah memang benar bahwa kemiskinan itu memang kehendak illahi yang sudah baku dalam penerapannya pada kehidupan manusia, ataukah kita sebagai manusia masih dapat merubah takdir itu dengan daya upaya kita. melihat firman Tuhan “ Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali dengan usahanya sendiri”. dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa takdir itu tidak mutlak dalam penerapannya oleh Tuhan jadi masih dapat dirubah tinggal kemauan manusia sebagai subjek.
Berbicara kemiskinan kita akan dihadapkan pada tipologi kemiskinan.pertama Kemiskinan karena kehendak Tuhan (taqdir), pada pembahasan kita ini, tipologi kemiskinan ini kita tiadakan dengan asumsi bahwa tidak ada kemiskinan yang dilatar belakangi kehendak Tuhan, kutipan ayat suci diatas kiranya jelas kita jadikan argumen. Kedua Kemiskinan Struktural.tipologi kemiskinan ini disebabkan adanya faktor eksternal dalam diri manusia sehingga dia tidak mampu berusaha secara maksimal dalam menunjang kehidupannya.Ketiga Kemiskinan karena kemalasan manusia.dalam kajian kita ini kita akan lebih memfokuskan pada jenis kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural banyak dilatar belakangi oleh sistem yang diterapkan dalam masyarakat kurang memihak pada kaum miskin, kebanyakan kemiskinan jenis ini banyak dialami dalam masyarakat kapitalis atau masyarakat yang berkembang, yang mana dalam jargon mereka “kemiskinan masyarakat disebabkan kemalasan mereka sendiri”.
Bagaimana dalam masyarakat Islam sendiri kemiskinanpun merajalela,apakah itu merupakan suatu taqdir Illahi ? ataukah sistem yang berkembang dalam masyarakat Islam tidak memihak kaum miskin ? kita harus mencari dimana letak kesalahan masyarakat kita sehingga kemiskinan menggerogoti kita padahal dalam ajaran kitab suci kita diajarkan untuk berbagi dengan yang lainnya melalui media zakat, bahwa dalam harta kita terdapat harta fakir miskin.
Pemahaman yang dangkal umat terhadap nilai ajaran agama akan berdampak pada pola prilakunya dalam masyarakat. kedangkalan pemahaman ajaran agama telah membuat konstruk keber-agama-an masyarakat sebatas simbolis, agama hanya dipahami sebatas identitas tanpa mampu dipahami secara substansiil,implikasinya tidak mampu menyentuh ranah kognitif masyarakat, sehingga dalam interaksi masyarakat, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama banyak yang terreduksi. Islam yang seharusnya mengajarkan suatu masyarakat yang egaliter berubah menjadi ajaran masyarakat otoriter individual.
Sistem masyarakat bergantung pada paradigma yang berjalan pada masa sistem itu dikonstruk. Jika paradigama yang melatar belakangi konstruk sistem masyarakat dekat dengan kaidah normativitas agama maka cenderung sistem yang dihasilkan akan selaras dengan ajaran agama. mengutip kata Immanuel Kant “Bangsa-bangsa setan dapat membuat konstitusi yang baik, dan sesuai kaidah nilai kemanusiaan”, namun pada sisi lain konstitusi yang dihasilkan mempunyai sifat pragmatis yang hanya mengeksploitasi manusia sebagai objek, bukan memberdayakannya sebagai mahluk yang merdeka. begitu juga umat Islam akan mempunyai selera yang sama mengeksploitir terhadap sesamanya yang lemah demi tujuan pribadinya, jika paradigma yang dipakai jauh dari normativitas ajaran agama.
Kata miskin dan kaya tidak mungkin dapat kita hilangkan dari permukaan bumi ini, meskipun kita memakai sistem masyarakat tanpa kelas yang dideklarasikan Karl Marx dalam masyarakat kita, tetap saja kemiskinan akan melanda sebagaian masyarakat bukan karena taqdir Tuhan namun ukuran kemiskinan itu berubah tingkatanya dari prihatin ke tangga layak dan seterusnya begitu juga orang kaya akan terus naik grade-nya, tak mungkin ada orang yang mau berjalan ditempat dimasa sekarang ini. Yang patut kita perjuangkan adalah nilai keadilan dalam sebuah masyarakat bukan penghapusan kemiskinan, sepanjang ada orang kaya pasti akan ada orang miskin karena itu oposisi biner yang akan menghiasi hidup
Monday, March 12, 2012
KUMPULAN MATERI LK1: WAWASAN ILMU
Wawasan Ilmu
Di bawah bayang-bayang kematian Islam
Oleh : Ihab Habudin
‘Tahu’ dan ‘Pengetahuan’
Manusia adalah mahluk sempurna. Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks sekarang ini. Misalnya saja, Darinya kita tahu dan mengenal ada Handphone Star Tech (ST 21) yang harganya Cuma Rp. 199.000.- plus kartu pedana ‘bebas’, tarif temurah, dan 600 sms gratis dengan fasilitas dual band GSM 900/1800 MHz, CFTN Nistual, Colour Background 1,5 inci, Predictive text input, polyphonic, speaker phone, jam alam, jam digital dan kalkulator kalender, baterai Li-Ion 700 MAH hingga si Nokia Connecting People (N5310) yang dengannya kita bisa memutar musik hingga 18 jam, radio FM dengan Radio Data System (RDS), Layar dengan 16 Juta warna yang tajam termasuk kamera 2 megapixel serta Mikro SD 512 MB.
Atau tidak perlu rumit-rumit. Cara kita makan, minum, bertindak ini-itu, menyimpulkan harus begini-begitu, menganggap ini lurus-itu sesat, ini benar-itu salah, ini surgawi-itu nerakawi, ini duniawi-itu ukhrawi, ini kebaikan-itu keburukan, ini pahlawan-itu bajingan dan lain sebagainya adalah hasil dari pergulatan daya potensia manusia yakni akal, indera dan hati.
Pertanyaanya, dari mana hasrat berpengetahuan itu datang? Sehingga kita sampai pada peradaban dan kebudayaan kompleks di abad pogresivitas dan degradasitas abad 21 ini? Jawaban sederhananya adalah rasa ingin ‘tahunya’ manusia atas apa yang ‘telah diketahuinya’. Ya, karena sudah menjadi fitrah manusia untuk ingin tahu relitas yang sewaktu dia dilahirkan tidak dalam berpengetahuan apa-apa. Itulah mengapa seorang Aristoteles mengatakan bahwa “setiap manusia dari kodratnya adalah ingin tahu”. Itulah yang menyebabkan mengapa seorang Socrates sampai berkata bahwa “saya tidak tahu apa-apa, satu-satunya yang saya tahu adalah saya tidak tahu apa-apa”. Itulah yang menyebabkan mengapa seorang Agustinus beseloroh “apa itu waktu? Bila seseorang tidak menanyaiku, saya tahu. Tetapi, ketika saya ingin menjelaskannya kepada seseorang yang menanyakannya, saya tidak tahu” . Rasa kagum, kata Plato telah menjadikan manusia menguras otak, memaksimalkan penelitian inderawinya dan mengoptimalkan rasa kemanusiaannya untuk mencipta peradaban. Jadi, pengetahuan pada dasarnya adalah hasil cerapan manusia melalui semua potensinya, yang membuat ia tahu ini dan itu.
Tapi dorongan seperti apa yang membuat manusia ingin mengetahui? Jawabannya adalah keinginan untuk membongkar realitas yang ‘sebenarnya ada’ dari Segala realitas ‘yang ada’ untuk selanjutnya meyakini sesuatu. Entah itu realitas yang tampak secera inderawi atau tidak tampak secara inderawi. Hal ini wajar, karena memang seharusnya manusia yang hidup dan berakal itu bertanya mencari apa yang dianggapnya sebagai sesuatu ‘yang benar’ untuk kemudian meyakininya dan menjadikannya sebagai landasan hidup.
Dalam hal ini Miranda Risang Ayu menulis:”hanya manusia yang memanusialah yang suka bertanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat dalam konteks memanusia adalah adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang seperti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah orang yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap ‘angkuh’ dan meragukan sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini sesuatu”.
Sejarah Ilmu Pengetahuan
Berbagai literatur yang sampai kepada kita berkaitan dengan sejarah pengetahuan mengatakan bahwa dalam konteks peradaban, pengetahuan di mulai sejak Thales muncul dengan pikiran ‘nakal’nya membongkar mite-mite yunani. Padahal, sebagaimana ditegaskan Hassan Hanafi, sebenarnya jauh sebelum itu telah muncul peradaban timur seperti; China, India, Persia dan Mesir. Adapun peradaban Yunani adalah hasil cerapan atas peradaban-peradaban Timur tersebut. Tapi, ini tidak terlalu aneh. Konstruksi pengetahuan kita saat ini sangat dipengaruhi oleh filsafat barat yang tentu saja melandaskan akar historisnya pada peradaban Yunani. Bahkan Hassan Hanafi sendiri tidak terlalu merisaukan meski menampakan kekesalan atas penyimpangan sejarah pengetahuan ini. Mungkin ini tak terlalu berpengaruh dalam upaya konstruksi peradaban pengetahuan selanjutnya.
Masa Yunani Kuno
Masa ini adalah masa kemunculan filsafat secara umum. Dimulai dengan pendibrakan Thales atas Mitologi Yunani, akal mulai menonjol dominasinya meskipun iman masih terlihat peranannya. Hal ini berlangsung hingga kaum sofis muncul. Berbeda dengan masa sebelumnya, masa kaum sofis menihilkan hal-hal imani. Atau dengan kata lain akal memenangkan pertarungan dan menghabisi iman. Ini bisa kita lihat dengan fenomena manusia sebagai ukuran kebenaran. Jadilah yang ada kebenaran menjadi sangat relative.
Tapi, ini tak berlangsung lama. Socrates muncul sebagai garda depan penyelamat bahwa kebenaran tidak semuanya relative. Sebaliknya, bagi Socrates ada kebenaran umum (pengertian umum), yakni kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang. Keyakinan inilah yang mendorong Socrates untuk berjalan di pasar-pasar untuk berdebat dengan semua orang yang ditemuinya agar ada kebenaran umum yang win-win solution. Kondisi ini bertahan cukup lama meski lama-kelamaan filsafat larut dan menemui kekalahan terbesarnya pada abad pertengahan.
Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan ini akal benar-benar kalah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa abad pertengahan adalah pembalasan terhadap dominasi akal yang hamper sseratus persen berkuasa pada masa Yunani, terutama masa kaum sofis. Meski memunculkan Aquinas yang mencoba mencairkan kembali filsafat, tetapi usahanya itu banyak ditentang sehingga tidak berkembang. Akibatnya, filsafat dan sains berhenti. Jangankan berkembang, menjaga tradisi filsafati Yunani saja tidak mampu.
Zaman Modern
Zaman ini ditandai dengan jebolnya tembok kemenangan dogma oleh senjata ‘cogito ergo sum’nya Descrates untuk kemudian membebaskan akal ke alam bebas. Akal kembali ke tampuk kekuasaan. Filsafat Yunani kembali menemukan bentuknya dan berkembang pesat. Bahkan rasionalisme menjadi ciri khas pikiran modern beserta empirisme. Maka, zaman modern adalah masa kemenangan filsafat dan sains.
Era Posmodern
Dapat dikatakan era postmodern adalah yang membingungkan. Tidak ada kesepakatan kapan posmodernisme itu muncul dan siapa tokoh pertamanya. Tapi yang jelas postmodern adalah kritik bagi modernisme. ‘filsafat’, ‘rasionalitas’ dan ‘epistemologi keilmuan’ barat kembali dipertanyakan secara radikal. Begitupun dengan tokoh-tokohnya banyak mengelompokannya secara beragam. Habermas misalnya. Ada yang mengatakan bahwa ia masuk dalam tradisi postmodern ada pula yang menyatakan masuk modern.
Menyelami Ontologi Ilmu : Antara ADA dan TIADA
Realitas ini adalah keberadaan. Yang nampak seperti kursi dan lain sebagainya serta yang tidak tampak seperti pikiran dan sebagainya adalah realitas. Tapi, Apakah Yang Sebenarnya Ada? Ada sebenarnya sebagai pusat Segala sesuatu? Materi atau ide, benda-benda atau apa yang ada di otak-otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya kita perlu menyimak perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’, yakni Filosof.Bagi kalangan materialis, yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Apa yang tampak sebagai kursi, meja, gentong, sepatu, peserta lk, pemandu, pemateri adalah benda-benda atu materi yang tersusun dari unsure-unsur lebih kecil yang menyatu dan membentuknya. Ya, semua benda itu terdiri dari atom-atom. Atom terdiri dari inti dan electron. Inti terdiri dari proton dan netron. Dan terakhir muncul unsure terkecil yang hingga kini dianggap tak bisa dipisah-pisah lagi yaitu quark. Karena inilah kalangan materialis berkeyakinan yang sebenarnya ada adalah benda.
Namun sayang, lembar jawaban ini masih menyisakan masalah. Masalah itu terutama datang dari kaum idealis plus religius. Bagi kaum idealis jawaban kalangan materialis tidak memuaskan kaena masih menimbulkan pertanyaan; apa sebenarnya quark itu? Mana buktinya kalau itu benar-benar ada? Bukankah sang materialis selalu bisa membuktikan data empiric melalui indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan? Serangan yang membuat mati kutu kaum materialis itu membuat kaum idealis di atas angin. Bagi mereka yang sebenarnya ada adalah pikiran atau itu. Hore....hidup kaum idealis.
Sudah finalkah, dan idealis tampil sebagai pemenang? Belum. Persoalan masih menghantui; apa sebenarnya pikiran itu? Petarungan kembali berrlanjut, bagi kaum materialis, pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia yang sejatinya terdiri dari benda-benda. Sementara kaum idealis membantah: pikiran adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. yang bisa memaknai ini apalagi kalau bukan pikiran. Bukan benda-benda. Tibalah kita pada pandangan yang berputar-putar. Tidak lagi ke kiri atau ke kanan, kini kita sampai pada bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk jalan? Para filosof sejarah tampil ke depan. Meraka mengatakan bahwa yang benar-bena ada adalah peristiwa-peristiwa yang hakikatnya terletak pada kreativitas. Yang ideal dan yang material tak lain adalah aspek-aspek saja dari setiap proses. Jawaban yang sedikit-banyak membuat reda perang urat syaraf.Dengan demikian kita bisa mengatakan, bagi kalangan materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi kaum dealis yang sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang sebenanya ada adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, Apakah “ADA” Itu Sebenarnya? Apakah yang sebenarnya ADA itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan? Bagaimana pula dengan ADA-nya Tuhan?
ADA itu adalah sesuatu, sesuatu itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh indera. Tapi, apakah ADA-nya tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra seorang tokoh filsafat islam, ADA itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Meskipun begitu, Shadra mengatkan bahwa “ada”nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada”nya yang lain becampur dengan esensi. Inilah pelipur lara bagi para pencari bukti adanya tuhan melui pendekatan filsafat. Karena ADA-nya Tuhan adalah Murni maka mengatakan bahwa Tuhan itu Tidak ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun kita berpikir dan berkata bahwa Tuhan tidaka ada, Tuhan tetap ADA.
Apa yang kita bicarakan di atas adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan materialis yang hakikat adalah benda benda. Dan bagi kalangan idealis yang hakikat adalah pikiran. Bagaimana dengan islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah pencipta Segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya.
Bila demikian halnya, bisakah kita mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relative kebenarannya mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia itu mahluk yang lemah? Terlebih lagi Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak ada kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat saya kita perlu terjerumus pada apakah kita akan sampai pada kebenaran yang mutlak itu dan berbangga-angkuh saya telah mencapai hakikat. Yang tepenting bagi saya adalah Allah yang maha Pemurah itu telah mengaugrahkan kepada kita berbagai petensia untuk berpengetahuan. Kita dianugrahkan akal, indera dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Maka bagaimana kita memaksimalkan daya potensia kita di alam fana ini sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT. Maksimalisasi dari semua potensia itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah. Selain itu, bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera itu juga berarti menekankan kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal, hati dan indera juga berasall daru Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi kesempatan kepada manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambing pengabdian kepada Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari menyebutkan adanya kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.
Disinilah kita menemukan konteksnya mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah.
Epistemologi Ilmu
Sumber Pengetahuan Manusia
“Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.”
Adalah ungkapan yang sering kita dengar dan cukup mengundang ‘geli’. Bukan tanpa makna. Dalam perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati sumber keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih, tampan-cantik, bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan sebagainya. Dengan hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci, tenang-khawatir, simpati-empati, takjub-mangkel dan sebagainya. Inilah sebagian pengetahuan manusia.
Tapi, apakah dengan melihat dan seklaigus itu yang menyebabkan kita meyakini? Atau keyakinan itu muncul serentak begitu saja lewat intuisi kita? muncul bagai jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar? Lalu, mengapa kita harus benci? mengapa kita harus khawatir? mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh? Bagaimana kita bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena empiris itu yang kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita sehingga tingkah polah kita harus seperti ini dan itu? Indera, hati atau akal? Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita akan melihat alat atau sumberr-sumber pengetahuan manusia.
1. Indera
Manusia memiliki berbagai indera sebagai alat untuk mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. “Kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu.” begitulah ungkap Aristoteles. Berkaitan dengan ini Muthahhari mengilustrasikan dengan sebuah contoh orang buta sejak lahir bertanya “susu beras itu seperti apa?”. Meskipun orang berusaha menjelaskannya. Tetap sang buta tidak bisa mengerti warna susu beras itu.
Selain itu, indera juga terbatas. Pengetahuan yang dihasilkan oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya dalam melihat sesuatu akan sngat dipengaruhi oleh jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari kejauhan kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita melihat ada gumpalan air di atas aspal. Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya lebih dekat, tak ada apa-apa. Air yang tadinya tampak nyata ternyata menipu, bukan yang sebenarnya.
2. Akal
Di atas keterbatasan indera itu akal muncul sebagai alat epistemology lain yang melengkapi. Ini tak lepas dari fungsinya yang bisa merenung, memilah, membuang yang tak bermakna, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim, Murthada Muthahhari menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
a. Menerima pesan dari luar. Pada tahap ini akal menagkap objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam lokus mental.
b. Mengingat. Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari luar, akal mempunyai kemampuan menampakan kembali secara jelas.
c. Membagi atau Mengklasifikasi dan Menggabungkan atau Mensintesiskan. Dalam tahap ini akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau akal.
d. Abstraksi dan generalisasi. Dalam hal ini akal berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indera dari cirri-ciri individual dan partikularnya.
e. Perenungan atau penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba menghubungkan seerangkaian data untuk mengungkap dan mengetahui objek yang belum diketahui.
3. Hati
Dapatkah hati menjadi sumber pengetahuan. Jalaludin Rumi pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya mengetahui segala sesuatu. Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya, untuk keperluan ini kita bisa bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan keyakinan. Mungkinkah ini muncul dari rasio. Tidak ia muncul dari hati. Makanya, hati adalah alat epistemology. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Aksiologi Ilmu: Apakah Ilmu Bebas Nilai Atau Tidak?
Bagi sekuler yang memposisikan agama dan ilmu pengetahuan dalam oposisi biner menganggap bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan agama atau dogma-dogma tertentu. Ia lahir begitu saja dari kreasi akal dan indera, atau lebih tepatnya melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains. Tapi, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya? Apakah ilmu itu dibuat, dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu tidak terkait dengan manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya aplikasinya tanpa campur tangan manusia? Tidak, Ilmu tidak bebas nilai. Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk kemajuan dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan menakutkan? Ia telah digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer, pembobolan rekening, penyalahgunaan anggaran, pembohongan public. Dalam teknologi informasi kita melihat krisis dimana ia telah menjadi penyangga utama budaya pop atau endah yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’ dalam ruang mekanistikan.
Membongkar Ilmu Pengetahuan Barat: Rasionalisme dan Empirisme
Akar dari ilmu pengetahuan barat sebenarnya bertumpu pada rasinalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenarnya adalah yang berasal dari akal. Bapak aliran ini adalah Rene Desrates dengan “Cogito Ergo Sum”-nya. Dalam pencariannya Descrates mempertanyakan dengan dalil apa saya mengatakan ala ini demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada, dunia ini ada, paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian? Kemudian ia menguji berbagai alat epistemology namun tidak menemukannya. Akhirnya, ia kehilangan keyakinan dan kepercayaan. Ia pun mulai meragukan segala sesuatu. Dan, tatkala ia tenggelam dalam keraguannya, tiba-tiba disadarkan oleh poin yang ia katakana sendiri:”sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetati saya tidak ragu bahwa saya dalam keadaan ragu”. Dengan demikian”saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya tengah merasa ragu ini, asalah ada”. Munculah kemudian kata popular yang menggambarkan pemikiran Cartesian “ketika saya ragu, maka saya ada”. Tokoh lain pemerus Descrates adalah Spinoza dan Leibniz.
Sementara itu,empirisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan yang benar berasal dari indera atau pengalaman. John Locke adalah salah satu tokohnya selain David Hume dan Herbert Spenser yang juga banyak dikenal. Lock menyatakan bahwa tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita kecuali di dahului oleh pengalaman. Jiwa atau mind itu, tatkala seorang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih (tabula rasa), dan setiap ide yang diperolehnya selalu di dahului pengalaman inderawi. Sama halnya dengan Lock, Hume membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki datang dari kesan-kesan. Dan, Spenser dengan nada berbeda tapi semakna mengatakan bahwa kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar dibelakang gejala itu ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolute itu tidak dapat kita kenal. Di sini, Spenser hendak mengatakan bahwa hal-hal yang sifatnya metafisis tidak ada. Yang ada hanyalah fenomena-fenomena inderawi.
Memeluk Ilmu Pengetahuan Islam:
Akal, Indera, Hati dan Wahyu sebagai epistemology islam
Karena kerja akal, indera dan hati telah diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada interpretasi wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah inderawi), penafsiran (wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan sangat terkait dengan pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu sendiri. Ini dapat dipahami, meskipun beragam interpretasi dan memunculkan banyak kesimpulan tetapi sumbernya tetap sama yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sebelum menyelam ke kedalaman teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang oleh sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat sejarah islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa di tafsirkan. Faktanya, doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang juga lambing dai ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini kita pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama mazhab. Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat beragam. Ada yang bersifat fundamental ada juga liberal, ada yang menekankan pada teks ada pula yang menekankan pada rasio.
Bagi seorang ‘fundamentalis’ penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa; Pertama, penolakan terhadap hermenetika. Ia menolah interpretasi teks secara kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. mereka mengajukan alas an bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks tersebut. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan histories-sosiologis. Bagi mereka, pekembangan histories-bila perlu dengan kekeasa- harus disesuai dengan kitab suci. Dan, Keempat, mereka sering mengambil posisi oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran mutlak teks tersebut mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia anggap ‘sesat’. Tak jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi islam kaffah, kedaulatan tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’ teks yang dianggap tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan ditafsirkan ulang. Tak masalah baginya bila kemudian terdapat pemahan yang berbeda-beda. Untuknya, kala wacana hermenetika mencuat. Kaum liberal menyambut baik.
Berkaitan dengan teks ini Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistic terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas al-Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang dai realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang ditunjuknya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput dari pertimbangan untung-rugi (kepentingan).
Menurut saya, memang al-Qur’an tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang bersifat universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya normative-universal ada pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin Abdullah ada dimensi normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada teks-teks yang berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks yang pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan sosio-historisnya.
Maka bagi saya kita tak perlu rebut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan yang liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam juga karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, islam dalam teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita membicarakan kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja? bukankah kita hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita lupa dengan teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya nyuruh memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan penindasan kaum lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan ilmu adalah urusan teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan direalitaskan.
Sains versus Agama
Sains adalah bentuk pengetahuan modern yang paling berpengaruh dewasa ini. kemunculannya menjelma menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Sains bahkan dianggap telah membuat dunianya sendiri yang sering dianggap netral yaitu dunia sains. Bebas dari agama dan dogma-dogma. Jadilah, sains selalu dipertentangkan dengan agama. Paling tidak, usaha Galileo dan Copernicus yang sering dipertentangkan dengan kaum gereja semakin membuktikan bahwa agama dan sains saling beseteru, menyerang, membunuh, serta saling mematikan. Terlebih, dengan hasil-hasil penelitian yang menakjubkan seperti teori evolusinya Darwin, teori atom-nya Dalton, rekayasa genetika dan lains sebagainya telah mengganggu kenyamanan agama yang secara doctrinal bertentangan dengan penelitian itu. Meskipun, di abad 20 ini agama kembali bisa tersenyum karena Einstein muncul dengan teori relativitasnya.
Tapi, apakah benar sain itu bertentangan dengan agama? Orang yang dianggap paling cerdas di abad 20 Albert Einstein penemu teori relativitas sekaligus penghancur teori kuantum menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan dan kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat dipahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh.” Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa sains dan agama tidak diposisikan sebagai sesuai yang bertentangan melainkan saling melengkapi (integrasi).
Menelusuri Bayang-bayang Kematian Islam
Dalam persfektif ilmu yang telah saya urai di atas, saya mencoba memberanikan diri mengatakan bahwa Di bawah bayang-bayang kematian islam bukanlah fatamorgana. Bagi islam dan agama-agama lain. Dia tepat di depan mata kita. Paling tidak untuk menggambarkan dinamika keilmuan yang berpengaruh di era sekarang ini-saya dan kita harus mengakui-bahwa keilmuan barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme yang menjadikan manusia pusat segalanya merupakan kekuatan yang tidak tergoyahkan sekaligus menakutkan bagi islam. Bahkan dalam realitasnya kita ditaburi berbagai penjelasan bahwa islam kini tengah terpuruk. Pervez Hoodboy secara provokatif menggambarkan:
“Cobalah anda bayangkan sebuah tim antropolog dari Mars Mengunjungi Bumi sekitar abad ke-9 dan ke-13. Misi mereka adalah untuk mempelajari evolusi kebudayaan dan social manusia. Pengamatan mereka menunjukan bahwa masyarakat tertentu sangat dinamis dan berevolusi mencapai bentuk yang lebih maju dan lebih canggih, sementara masyarakat yang lain statis dan lumpuh karena tradisi dan tatacara agama. Pengunjung dari Mars ini melaporkan kepada markasnya bahwa peradaban yang mempunyai masa depan adalah peradaban islam dengan baitul hikmah, observarium astronomi, rumah sakit dan sekolahnya. …sementara eropa dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab, tenggelam dalam kemuraman abad kegelapam..Anggaplah kini tim mahluk asing yang sama datang kembali ke zaman ini. Dengan rasa malu mereka harus melaporkan kembali bahwa ramalan awal mereka ternyata salah. Sebagian umat manusia yang pernah tampak menawarkan janji peradaban tersebut, kini tak pelak lagi tersejabak dalam kebekuan abad pertengahan. Mereka menolak yang baru dan dengan frustasi bergantung pada kejayaan silam. Di lain pihak, yang tadinya tampak mundur telah menaiki tangga evolusi dan kini menuju bintang-bintang. Apakah pembalikan peran yang menakjubkan ini, Tanya para pengunjung dari Mars, apakah hanya sekedar kesialan satu pihak dan keberuntungan pihak lain?”
Hoodboy memang mengaitkan peradaban islam yang dimaksud dengan perkembangan sains. Ia hendak mengatakan bahwa ketertinggalan islam dalam bidang sains adalah karena ‘tidak dihargainya’ rasionalitas sebagaimana didewakan di dunia barat. Akibatnya, kubangan keterbelakangan dalam sains-hingga-kini belum beranjak dari jurang degradasi. Sebuah penelusuran yang menarik.
Namun bukan hanya sains saja yang sekarang menjadi perbincangan hangat dan ditengarai sebagai biang keladi berbagai problem sosial. Dunia keilmuan secara umum sedang banyak diperbincangkan. Apalagi terkait dengan agama. Termasuk islam. Keilmuan modern yang menyandarkan diri pada tradisi keilmuan barat sedang di gugat habis-habisan. Hal ini bisa dimaklumi karena manusia modern dengan pencapaian keilmuannya itu tidak hanya menemukan progressifitas melainkan juga degradasitas.
Peradaban dan kebudayaan kini (modernitas) yang merupakan buah keilmuan modern itu berserta tatanan social yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk (problem modernitas) bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya; Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-alam dan lain sebagainya telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan (eksploitasi) alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang objektivitas dan positivistis telah menjadikan manusia objek dan direkayasa bagai mesin. Al hasil, kehidupan menjadi tidak begitu ramah dengan hal-hal yang manusiawi. Ketiga, positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi yang dianut modernisme telah menyebabkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Apalagi ditambah dengan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam keilmuan modern telah menjadikan nilai-nilai agama terpinggirkan dalam kehidupan social. Timbulah kemudian kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain sebagainya. Keempat, modernitas telah menjadikan materi sebagai kekayaan paling utama yang kemudian membuka pintu persaingan bebas lebar-lebar. Dalam konsisi inilah agama kembali terdesak; dipaksa ikut aturan pasar atau mati kutu. Sebagai kelanjutannya menimbulkan, Kelima, kembalinya militerisme dan Keenam, tribalisme. Cukupkah hanya disini? Jawabannya tidak. Sebagaimana disebutkan, virus-virus keilmuan modern tidak berhenti pada wilayah ilmu-ilmu alam atau sains melainkan juga social budaya. Dan dalam hal ini modernitas menjadi ancaman berbahaya bagi agama karena karakteristiknya yang hegemonic, progressivisme, base on economy, refresif, homogenik, non-teleologik, disekuilibrik, dan sekularistik.
Mengacu pada fakta ini, apakah ini berarti bahwa keilmuan modern sarat dengan kolonialisasi? Secara gamblang Michel Foucoult menyatakan:”the will to know, the will to power”. Artinya: Awalnya hendak sekedar mengetahui telah berubah dikemudian hari menjadi penancapan kekuasaan. Poskolonial itu telah merayap dari penjajahan sebelumnya yang berbentuk fisik pada penjajahan yang lebih halus melalui pengetahuan. Pengetahuan telah dikonstruksi sesuai dengan kepentingan si pembuatnya. Kemudian agama hanya dipandang sebagai bumbu masakan yang bisa memuluskan pihak yang berkepentingan menggunakan ilmu pengetahun. Agama tidak ditempatkan sebagai norma yang mulai tetapi telah direduksi sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Paling tidak ini tampak jelas dalam cara beragama kita akhir-akhir ini. Beragama harus sesuai dengan setelan mode jilbab. Berhibah harus sesuai dengan waktu kampanye. Menghormati dan menghargai harus berdasarkan ukuran status sosial, besar tidaknya kekayaan, hingga cocok tidaknya dengan mode. Berdakwah pun mulus kalau dikasih honor tinggi. Lupa, bahwa agama telah dijadikan barang dagangan. Di tambah lagi dengan bantuan ilmu dan teknologi, agama dijadikan aksesoris seruan-seruan para kapitalis untuk menjualkan dagangannya.
Itulah yang saya maksud di bawah baying-bayang kematian. Kematian tidak selalu berarti hapus sama sekali. Kematian bisa berarti perpindahan bentuk dari yang satu ke yang lainnya. Dengan mengikuti alur logika ini, bisa jadi ke depan agama mengalami kematian itu. Agama yang akan kita temukan termasuk islam tidak otentis lagi. Tak ada lagi seruan moral pembebasan yang dapat diandalakan sebagai agama rahmatan lil alamin. Yang ada hanyalah tradisi islam superficial. kemanakah ilmu yang membebaskan manusia dari ketepurukan itu. Disinilah problem keilmuan barat yang telah menghempaskan nilai-nilai agama. Itulah, karena ilmu tidak dicipta dan dipakai sebagai alat pengabdian kepada sang pencipta dan hanya dijadikan pemuas nafsu manusia. Jadilah problem modrnitas menjadi penyakit akut yang hingga kini menghantui.
Ihab Habudin, Kabid PSDP KP HMI Yk
Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 06:47 0 komentar
Label: Wacana, Wawasan Ilmu
05 Agustus 2008
Ilmu dalam Perspektif Integralisme
Oleh: M. Habibi
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. namun sebelum berbicara tentang integrasi ilmu, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang perspektif yang kita gunakan, yaitu integralisme.
Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.
Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.
Sekilas memang terasa aneh, karena secara ekonomi mereka telah menempati pada posisi yang mapan, tidak kekurangn harta benda yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka. Namun orang akan mengerti dan memahami fenomena tersebut setelah mengetahui apa sebenarnya yang mereka inginkan.
Kehidupan modern yang terlalu mengunggulkan akal dan menjadikannya raja membuat pemuda-pemuda ini terasa kering dan terasing, bahakan dengan diri mereka sendiri. Mereka melihat ada satu bagain kehidupan ini yang hilang, sehingga kehidupan mereka terasa parsial. Dan sesuatu yang hilang tersebut mereka temukan di masyarakat pedalaman, masyrakat tradisional. Yang mereka cari adalah spiriualitas yang membawa kesejukan dalam kehidupan mereka. Spiritualitas inilah yang hilang dalam kehidupan Barat modern, diakibtakan oleh pandangan saintifik positifistik.
Setelah bermukim beberapa lama di pedalaman bersama suku-suku Indian tersebut, para pemuda ini ternyata tidak hanya sekedar menemukan spiritualitas, dimensi yang hilang dalam kehidupan Barat modern, tetapi dengan spiritualitas ini pula mereka justru menemukan suatu pandangan yang lebih menyeluruh terhadap realitas. Di sini mereka mendapatkan kesadaran akan kemenyeluruhan atau sering disebut holon yang kemudian dikenal dengan holisme. Mereka kemudian membuat gerakan yang mereka sebut gerakan pasca-modernisasi. Berbeda dengan gerakan mereka sebelumnya yang meninggalkan modernitas dan masuk ke pedalaman, gerakan mereka kali ini justru mensintesakan yang tradisional dengan yang modern.
Secara aksiologi, holisme dibangun oleh para pecinta lingkungn. Secara epistemologis dibangun oleh para psikolog yang memasukan pengalaman mistik sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan. Sementara pada ranah ontologi dibangun oleh fisikawan Fritjof Capra yang mengatakan bahwa ada kesejajaran antara partikel material dengan kesadarn mistis Timur.
Setelah mengamati pandangan holisme tersebut, Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam tidak perlu untuk meninggalkan dunia mereka dan beralih mencari dunia lain di pedalaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemuda-pemuda Barat, karena Islam sendiri telah memiliki konsep kesatupaduan. Konsepsi kesatupaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau al-himah al-wahdatiyah.
Integralisme adalah filsafat yang konsep sentralnya adalah integralitas, yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu padu berdasarkan suatu struktur tertentu. Dengan kata lain, integralisme merupkan wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu: baik sain dan teknologi dan seni, maupun budaya dan agama. Integralisme melihat semua itu sebagai satu kesatupaduan yang tak bisa dipecah ataupun dipisahkan dari kesepaduan realitas.
Berbeda dengan integrasi pada pandangan holisme, integralisme menyarankan dua integrasi yang internal dan yang eksternal. Integrasi internal adalah upaya menyelarasikan tubuh kita dengan ruh kita melalui rantai instink, inteligensi dan intuisi. Sedangkan integrasi eksternal adalah menghubungkan diri kita dengan Tuhan melalui lingkungan hidup, alam semesta dan alam gaib.
Dari sini nampak jelas bahwa basis keilmuan Armahedi serta pandangan dia tentang kesatupaduan menempatkan dia pada sayap kanan dalam pemikiran kaum posmodernisme. Istilah integralisme sendiri sebenarnya telah dipakai oleh Sri Aurobindo (1872-1950), yang terkenal dengan integral yoganya. Selain itu, istilah ini juga dipakai oleh Ken Wilber, seorang filosof yang menggabungkkan antara sains modern dan spiritualitas tradisional, sehingga Armahedi sering menyebut filsafatnya sebagai Integralisme Islam. Dikatakatan integralisme Islam karena Armahedi menambahkan deminsi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber.
Armahedi juga menyebut filsafatnya sebagai pos-strukturalisme timur. Menurutnya ada dua alasan mengapa integralsime disebut sebagai Pos-struktrukturalisme Timur ,
karena lahirnya di Indonesia yang di Asia yang menurut orang Barat ada di Timur. Saya sebut pos-strukturalisme karena integralisme memang bermula dari strukturalisme yang diterapkan untuk filsafat Eropa, bukan mitologi Indian seperti yang diterapkan oleh Levi-Strauss, lalu dilampaui dalam suatu filsafat Integralisme. … Alasan kedua: integralisme universal yang dikembangkan Ken Wilber, sebagai posmodernisme konstruktif melampaui postrukturalisme, sebagian besar berdasarkan filsafat India: Budhisme dan Vedantisme.
Dengan demikian, kemunculan filsafat integralisme ini merupakan kelanjutan sekaligus sintesis dari filsafat tradisional Islam dan filsfat Barat moder.
Integrasi Ilmu
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. Konsepsi wujud yang mengakomodir dunia metafisik di atas menjadi pondasi bagi terbangunnya sebuah epistemologi, karena sebagai muslim yang mempunyai kepercayaan penuh pada dunia metafisik, maka seorang ilmuwan muslim harus menyusun atau memiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan kepercayaan yang dianutnya.
Berbicara tentang ilmu, maka ada beberapa hal yang harus dibahas, yaitu sumber, objek, struktur dan konteks ilmu. Keempat hal ini akan menjadi satu kesatuan yang utuh.
1. Sumber Ilmu
Sebagai seorang muslim, Armahedi meyakini bahwa dalam Islam sumber semua ilmu adalah satu, yaitu Allah SWT. Yang Maha Esa, Kepercayaan seorang muslim akan Allah sebagai Tuhan Yang maha Esa mempunyai implikasi yang sangat luas. Keyakian yang menandaskan akan ke-esa-an Tuhan dalam Islam disebut dengan tauhid.
Menurut Musa Asy’arie, tauhid yang seakar dengan angka satu, wahidah, tidak merujuk pada pada makna angka satu saja, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak terbagi-bagi. Ia menjadi sumber realitas yang ada. Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa tauhid ini bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim.
Allah sebagai sumber segala ilmu dapat dilihat dari bagaimana Allah mengenalkan diri-Nya sebagai `Aliim atau Yang Maha Mengetahui, bahkan Allah sendiri adalah ilmu itu sendiri.
2. Objek dan Praksis Ilmu
Dalam melihat objek ilmu, Armahedi melakukan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Quran. Menururtnya, meski Al-Quran menyebut ilmu dalam kontek yang berda, namun objeknya dijelaskan secara gamblang, yaitu “al-Quran” dan “al-Bayan”. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT sebagai surat Ar-rahman 1-4:
Artinya: (Tuhan) yang Maha pemurah. Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Ar-Rahman 1-4).
Al-Quran yang dimaksud oleh Armahedi bukan al-Quran sebagaimana artian firman Allah SWT yang telah terkodifikasikan, tetapi al-Quran dalam artian yang lebih luas yang merujuk pada makna asalnya, yaitu bacaan. Bacaan dalam arti lebih luas lagi adalah pengumpulan atanda-tanda atau “ayat”. Untuk memahami ayat ini dibutuhkan alat, yaitu bahasa atau al-bayan.
Terkait dengan “ayat”, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya dalam surat Fushshilat :53. Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.
Dalam ayat Quran suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahw ayat-ayat itu adalah cakrawala (afaq) dan di dalam diri-diri (anfus) manusia. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut diciptakan agar manusia memahami kebenaran (al-Haq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya Al-Quran. Dengan demikian di sini ada tiga entitas yang berbeda yang merupakan obyek limu pengetahuan.
Pertama adalah al-afaq atau cakrawala. Hal ini berkaitan dengan objek material yang berada di eksternal diri manusia yaitu gejala-gejala alam. Menurut Mulyadhi Kartanegara, objek-objek material inilah yang memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alam, seperti fisika, biologi dan kimia.
Kedua adalah anfus atau sesuatu yang berada dalam diri manusia. Pada bagian ini terkait dengan ilmu-ilmu kemanusia atau humaniora, seperti pskiologi, sosiologi dan antropologi. Ketiga adalah al-Haq atau Allah dan Al-Quran. Pada sisi ini akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi, dan tashawuf.
Pembagian objek ilmu Armahedi ini sama dengan pembagian yang dilakukan oleh Ibn Shina. Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, Ibnu Shina membagi objek ilmu dalam tiga hal, yaitu entitas-entitas yang bergerak dan berkaitan dengan materi spesies partikular, entitas-entitas yang terpisah dari materi spesies partikular dalam pemahaman kognitif, tetapi tidak dalam dunia nyata, dan entitas-entitas yang terpisah dari gerak dan materi baik di dunia nyata maupun dalam pemahaman kognitif.
Sementara pada ranah praksis ilmu, Allah dalam firman-Nya menegaskan ada tiga macam alat manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Al-Quran surat as-Sajadah : 9 yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Dari sini dapat dilihat potensi-potensi manusia yang merupakan alat untuk memeperoleh pengetahuan. Pertama: as-sama` atau pendengaran yang berarti terkait dengan kemampuan verbal. Sementara kemampuan verbal sendiri sangat erat hubungannya dengan kemampuan rasional. Dengan demikian as-sama’ juga berarti kemampuan manusia untuk berfikir rasional. Bahasa lain yang digunakan untuk kata ini adalah al-‘aql atau akal.
Kedua: al-bashar atau penglihatan. Hal ini terkait dengan fungsi mata, yang berarti pengamatan terhadap entitas material. Sementara ketiga: al-fuad atau hati, merupakan kemampuan manusia mengetahui sesutu yang inmaterial. Ada kemungkinan bahwa ilmul yaqin sebenarnya puncak dari pemahaman verbal, ‘ainul uaqin sebenarnya puncak dari pemahaman visual dan haqqul yaqin sebagai puncak dari pemahaman aktual atau penghayatan ilmu.
Jika dirangkum menjadi satu maka dapat dilihat seperti ini. Objek ilmu pertama adalah afaq atau cakrawala yang berarti gejala-gejala alam. Hal ini bersesuain dengan al-bashara (penglihatan). Dengan demikian alat untuk mencerap pengetahuan tentang gejala-gejala alam adalah al-abshara, Karena objek pertama ini adalah alam, maka kebenarannya adalah kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal fisik dan material semata, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan menggunakan metode empiris.
Objek kedua ilmu penegtahuan adalah anfus yang berkaitan ilmu-ilmu humaniora. Hal ini bersesuaian dengan al-sama’ atau kemampuan verbal yang juga berkait dengan kemampuan rasional. Maka sama’ ini merupakan alat unutk memahami keilmuan humaniora. Dan metode yang digunakan adalah rasional demonstratif.
Sementara objek ilmu yang ketiga adalah al-haq. Untuk memahami yang al-Haq tadi adalah dengan hati atau fuad, karena di sanalah ruh ilahiah berada. Metode yang digunakan adalah metode intuitif, atau dzauqiyah. Metode ini sering berkaitan dengan pengalaman mistik seseorang. Metode ini dilakukan dengan jalan perenungan atau kontemplasi secara intens mendalam. Dengan kontemplasi jiwa mansia makin dibersihkan dan berhasil naik ke sumber kenyataan, dengan semuanya diemanasikan dari-Nya.
3. Struktur dan Konteks Ilmu
Struktur ilmu dalam Islam dapat diketahui dalam firman Allah SWT QS. An-Nisa 113 yang artinya: “… Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.
Berdasarkan ayat ini jelas terdapat hirarki al-Kitab, al-Hikmah dan al-‘Ilmu yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi dalam Islam ilmu mempunyai landasan al-Hikmah, sedangkan al-Hikmat harus berlandasakan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi pada para rasul-rasul-Nya.
Ilmu yang dimaksud oleh Armahedi dalam konteks ini adalah sains, sehingga sains harus berlandaskan pada al-Hikmat atau paradigma keilmuan, dan al-hikmah harus berlandaskan pada nilai-nilai Al-Quran.
Pada konteks keilmuan Barat saat ini, Armahedi melihat ada suatu dikotomi yang kemudian berujung pada prinsip ilmu bebas nilai. Hal ini menurutnya bertentangan dengan paradigma kelimuan dalam Islam. Karena dalam Islam terdapat kesatupaduan ilmu, etika dan agama. Dalam hal ini Armahedi merujuk pada QS. Luqman : 20. “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Urutan Penyebutan al-‘ilmu, al-huda dan al-kitab menyarankan adanya hirarki ilmu – etika - religi. Dengan demikian tidak ada penggunaan iilmu yang menyimpang dari etika dan agama, karena semua itu sesengguhnya adalah sebagai upaya untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.
Dengan menggunakan metode analisis strukturalisme Levi Strauss, Armahedi mencoba untuk melihat paradigma keilmuan modern. Di sini Armahedi menemukan struktur-struk keimuan modern. Struktur pertama terdiri dari ilmu pengetahuan-seni-teknologi. Dan yang kedua adalah filsafat-misti-etik. Mistik menjadi fondasi bagi seni. Filsafat menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan, sementara teknologi harus berlandaskan pada etika.
Setelah menelusuri paradigma keilmuan barat tersebut, Armahedi melihat masih adanya perpisahan antara kelimuan tersebut, bahkan kadang sering bertentangan satu sama lainnya. Terlebih lagi paradigma tersebut masih bersifat skular. Untuk itu dia malakaukan penelusuran dalam paradigma keilmuan Islam dan menemukan struktur tauhid-tasawuf-fiqih. Karena Islam menekankan keseimbangan antara yang lahir dan batin, individu dan kolektif, maka struktur ini menjadi penengah antar ilmu pengetahuan-seni-teknologi dan filsafat-mistik-etika. Ketiga struktur ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan seimbang.
Kaki Ilmu pengetahuan-tauhid-filsafat menyangkut pikiran-pikiran manusia. Seni-tasawuf-mistik berkaitan dengan perasaan. Sementara tekonologi-fiqh-etika berkaitan dengan tingkah laku manusia. Jika diperhatikan dengan seksama, kaki struktur di atas menyangkut fungsi-fungsi “kognitif”, “afektif” dan “konatif” (psikomotorik-penulis) dari kesadaran manusia. Atau dalam bahasa lain fikr, dzikr dan ‘amal.
Dalam pandangan integralisme, realitas pastilah mempanyai kelima struktur wujud sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Begitu juga dengan ilmu yang juga mempunyai ontologinya sendiri. Ilmu juga harus mempunyai kelimanya. Dengan demikian akan didapatkan satu struktur keilmuan Islam sebagai berikut:
Struktur Keilmuan Islam
Kategori Integral Disiplin Keilmuan
Sumber Ilmu-ilmu Al-Quran
Nilai Ilmu-ilmu keagamaan
Informasi Ilmu-ilmu kebudayaan
Energi Ilmu-ilmu terapan
Materi Ilmu-ilmu kealaman
Dengan demikian Al-Quran menjadi sumber dan ruh bagi keilmuan-keilmuan yang lainnya. Dia menjadi sumber karena dalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip keilmuan sosial, budaya, alam dan terapan yang akan bermanfaat dalam kehidupan manusia
Di bawah bayang-bayang kematian Islam
Oleh : Ihab Habudin
‘Tahu’ dan ‘Pengetahuan’
Manusia adalah mahluk sempurna. Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks sekarang ini. Misalnya saja, Darinya kita tahu dan mengenal ada Handphone Star Tech (ST 21) yang harganya Cuma Rp. 199.000.- plus kartu pedana ‘bebas’, tarif temurah, dan 600 sms gratis dengan fasilitas dual band GSM 900/1800 MHz, CFTN Nistual, Colour Background 1,5 inci, Predictive text input, polyphonic, speaker phone, jam alam, jam digital dan kalkulator kalender, baterai Li-Ion 700 MAH hingga si Nokia Connecting People (N5310) yang dengannya kita bisa memutar musik hingga 18 jam, radio FM dengan Radio Data System (RDS), Layar dengan 16 Juta warna yang tajam termasuk kamera 2 megapixel serta Mikro SD 512 MB.
Atau tidak perlu rumit-rumit. Cara kita makan, minum, bertindak ini-itu, menyimpulkan harus begini-begitu, menganggap ini lurus-itu sesat, ini benar-itu salah, ini surgawi-itu nerakawi, ini duniawi-itu ukhrawi, ini kebaikan-itu keburukan, ini pahlawan-itu bajingan dan lain sebagainya adalah hasil dari pergulatan daya potensia manusia yakni akal, indera dan hati.
Pertanyaanya, dari mana hasrat berpengetahuan itu datang? Sehingga kita sampai pada peradaban dan kebudayaan kompleks di abad pogresivitas dan degradasitas abad 21 ini? Jawaban sederhananya adalah rasa ingin ‘tahunya’ manusia atas apa yang ‘telah diketahuinya’. Ya, karena sudah menjadi fitrah manusia untuk ingin tahu relitas yang sewaktu dia dilahirkan tidak dalam berpengetahuan apa-apa. Itulah mengapa seorang Aristoteles mengatakan bahwa “setiap manusia dari kodratnya adalah ingin tahu”. Itulah yang menyebabkan mengapa seorang Socrates sampai berkata bahwa “saya tidak tahu apa-apa, satu-satunya yang saya tahu adalah saya tidak tahu apa-apa”. Itulah yang menyebabkan mengapa seorang Agustinus beseloroh “apa itu waktu? Bila seseorang tidak menanyaiku, saya tahu. Tetapi, ketika saya ingin menjelaskannya kepada seseorang yang menanyakannya, saya tidak tahu” . Rasa kagum, kata Plato telah menjadikan manusia menguras otak, memaksimalkan penelitian inderawinya dan mengoptimalkan rasa kemanusiaannya untuk mencipta peradaban. Jadi, pengetahuan pada dasarnya adalah hasil cerapan manusia melalui semua potensinya, yang membuat ia tahu ini dan itu.
Tapi dorongan seperti apa yang membuat manusia ingin mengetahui? Jawabannya adalah keinginan untuk membongkar realitas yang ‘sebenarnya ada’ dari Segala realitas ‘yang ada’ untuk selanjutnya meyakini sesuatu. Entah itu realitas yang tampak secera inderawi atau tidak tampak secara inderawi. Hal ini wajar, karena memang seharusnya manusia yang hidup dan berakal itu bertanya mencari apa yang dianggapnya sebagai sesuatu ‘yang benar’ untuk kemudian meyakininya dan menjadikannya sebagai landasan hidup.
Dalam hal ini Miranda Risang Ayu menulis:”hanya manusia yang memanusialah yang suka bertanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat dalam konteks memanusia adalah adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang seperti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah orang yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap ‘angkuh’ dan meragukan sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini sesuatu”.
Sejarah Ilmu Pengetahuan
Berbagai literatur yang sampai kepada kita berkaitan dengan sejarah pengetahuan mengatakan bahwa dalam konteks peradaban, pengetahuan di mulai sejak Thales muncul dengan pikiran ‘nakal’nya membongkar mite-mite yunani. Padahal, sebagaimana ditegaskan Hassan Hanafi, sebenarnya jauh sebelum itu telah muncul peradaban timur seperti; China, India, Persia dan Mesir. Adapun peradaban Yunani adalah hasil cerapan atas peradaban-peradaban Timur tersebut. Tapi, ini tidak terlalu aneh. Konstruksi pengetahuan kita saat ini sangat dipengaruhi oleh filsafat barat yang tentu saja melandaskan akar historisnya pada peradaban Yunani. Bahkan Hassan Hanafi sendiri tidak terlalu merisaukan meski menampakan kekesalan atas penyimpangan sejarah pengetahuan ini. Mungkin ini tak terlalu berpengaruh dalam upaya konstruksi peradaban pengetahuan selanjutnya.
Masa Yunani Kuno
Masa ini adalah masa kemunculan filsafat secara umum. Dimulai dengan pendibrakan Thales atas Mitologi Yunani, akal mulai menonjol dominasinya meskipun iman masih terlihat peranannya. Hal ini berlangsung hingga kaum sofis muncul. Berbeda dengan masa sebelumnya, masa kaum sofis menihilkan hal-hal imani. Atau dengan kata lain akal memenangkan pertarungan dan menghabisi iman. Ini bisa kita lihat dengan fenomena manusia sebagai ukuran kebenaran. Jadilah yang ada kebenaran menjadi sangat relative.
Tapi, ini tak berlangsung lama. Socrates muncul sebagai garda depan penyelamat bahwa kebenaran tidak semuanya relative. Sebaliknya, bagi Socrates ada kebenaran umum (pengertian umum), yakni kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang. Keyakinan inilah yang mendorong Socrates untuk berjalan di pasar-pasar untuk berdebat dengan semua orang yang ditemuinya agar ada kebenaran umum yang win-win solution. Kondisi ini bertahan cukup lama meski lama-kelamaan filsafat larut dan menemui kekalahan terbesarnya pada abad pertengahan.
Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan ini akal benar-benar kalah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa abad pertengahan adalah pembalasan terhadap dominasi akal yang hamper sseratus persen berkuasa pada masa Yunani, terutama masa kaum sofis. Meski memunculkan Aquinas yang mencoba mencairkan kembali filsafat, tetapi usahanya itu banyak ditentang sehingga tidak berkembang. Akibatnya, filsafat dan sains berhenti. Jangankan berkembang, menjaga tradisi filsafati Yunani saja tidak mampu.
Zaman Modern
Zaman ini ditandai dengan jebolnya tembok kemenangan dogma oleh senjata ‘cogito ergo sum’nya Descrates untuk kemudian membebaskan akal ke alam bebas. Akal kembali ke tampuk kekuasaan. Filsafat Yunani kembali menemukan bentuknya dan berkembang pesat. Bahkan rasionalisme menjadi ciri khas pikiran modern beserta empirisme. Maka, zaman modern adalah masa kemenangan filsafat dan sains.
Era Posmodern
Dapat dikatakan era postmodern adalah yang membingungkan. Tidak ada kesepakatan kapan posmodernisme itu muncul dan siapa tokoh pertamanya. Tapi yang jelas postmodern adalah kritik bagi modernisme. ‘filsafat’, ‘rasionalitas’ dan ‘epistemologi keilmuan’ barat kembali dipertanyakan secara radikal. Begitupun dengan tokoh-tokohnya banyak mengelompokannya secara beragam. Habermas misalnya. Ada yang mengatakan bahwa ia masuk dalam tradisi postmodern ada pula yang menyatakan masuk modern.
Menyelami Ontologi Ilmu : Antara ADA dan TIADA
Realitas ini adalah keberadaan. Yang nampak seperti kursi dan lain sebagainya serta yang tidak tampak seperti pikiran dan sebagainya adalah realitas. Tapi, Apakah Yang Sebenarnya Ada? Ada sebenarnya sebagai pusat Segala sesuatu? Materi atau ide, benda-benda atau apa yang ada di otak-otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya kita perlu menyimak perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’, yakni Filosof.Bagi kalangan materialis, yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Apa yang tampak sebagai kursi, meja, gentong, sepatu, peserta lk, pemandu, pemateri adalah benda-benda atu materi yang tersusun dari unsure-unsur lebih kecil yang menyatu dan membentuknya. Ya, semua benda itu terdiri dari atom-atom. Atom terdiri dari inti dan electron. Inti terdiri dari proton dan netron. Dan terakhir muncul unsure terkecil yang hingga kini dianggap tak bisa dipisah-pisah lagi yaitu quark. Karena inilah kalangan materialis berkeyakinan yang sebenarnya ada adalah benda.
Namun sayang, lembar jawaban ini masih menyisakan masalah. Masalah itu terutama datang dari kaum idealis plus religius. Bagi kaum idealis jawaban kalangan materialis tidak memuaskan kaena masih menimbulkan pertanyaan; apa sebenarnya quark itu? Mana buktinya kalau itu benar-benar ada? Bukankah sang materialis selalu bisa membuktikan data empiric melalui indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan? Serangan yang membuat mati kutu kaum materialis itu membuat kaum idealis di atas angin. Bagi mereka yang sebenarnya ada adalah pikiran atau itu. Hore....hidup kaum idealis.
Sudah finalkah, dan idealis tampil sebagai pemenang? Belum. Persoalan masih menghantui; apa sebenarnya pikiran itu? Petarungan kembali berrlanjut, bagi kaum materialis, pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia yang sejatinya terdiri dari benda-benda. Sementara kaum idealis membantah: pikiran adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. yang bisa memaknai ini apalagi kalau bukan pikiran. Bukan benda-benda. Tibalah kita pada pandangan yang berputar-putar. Tidak lagi ke kiri atau ke kanan, kini kita sampai pada bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk jalan? Para filosof sejarah tampil ke depan. Meraka mengatakan bahwa yang benar-bena ada adalah peristiwa-peristiwa yang hakikatnya terletak pada kreativitas. Yang ideal dan yang material tak lain adalah aspek-aspek saja dari setiap proses. Jawaban yang sedikit-banyak membuat reda perang urat syaraf.Dengan demikian kita bisa mengatakan, bagi kalangan materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi kaum dealis yang sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang sebenanya ada adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, Apakah “ADA” Itu Sebenarnya? Apakah yang sebenarnya ADA itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan? Bagaimana pula dengan ADA-nya Tuhan?
ADA itu adalah sesuatu, sesuatu itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh indera. Tapi, apakah ADA-nya tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra seorang tokoh filsafat islam, ADA itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Meskipun begitu, Shadra mengatkan bahwa “ada”nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada”nya yang lain becampur dengan esensi. Inilah pelipur lara bagi para pencari bukti adanya tuhan melui pendekatan filsafat. Karena ADA-nya Tuhan adalah Murni maka mengatakan bahwa Tuhan itu Tidak ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun kita berpikir dan berkata bahwa Tuhan tidaka ada, Tuhan tetap ADA.
Apa yang kita bicarakan di atas adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan materialis yang hakikat adalah benda benda. Dan bagi kalangan idealis yang hakikat adalah pikiran. Bagaimana dengan islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah pencipta Segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya.
Bila demikian halnya, bisakah kita mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relative kebenarannya mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia itu mahluk yang lemah? Terlebih lagi Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak ada kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat saya kita perlu terjerumus pada apakah kita akan sampai pada kebenaran yang mutlak itu dan berbangga-angkuh saya telah mencapai hakikat. Yang tepenting bagi saya adalah Allah yang maha Pemurah itu telah mengaugrahkan kepada kita berbagai petensia untuk berpengetahuan. Kita dianugrahkan akal, indera dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Maka bagaimana kita memaksimalkan daya potensia kita di alam fana ini sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT. Maksimalisasi dari semua potensia itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah. Selain itu, bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera itu juga berarti menekankan kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal, hati dan indera juga berasall daru Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi kesempatan kepada manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambing pengabdian kepada Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari menyebutkan adanya kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.
Disinilah kita menemukan konteksnya mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah.
Epistemologi Ilmu
Sumber Pengetahuan Manusia
“Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.”
Adalah ungkapan yang sering kita dengar dan cukup mengundang ‘geli’. Bukan tanpa makna. Dalam perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati sumber keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih, tampan-cantik, bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan sebagainya. Dengan hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci, tenang-khawatir, simpati-empati, takjub-mangkel dan sebagainya. Inilah sebagian pengetahuan manusia.
Tapi, apakah dengan melihat dan seklaigus itu yang menyebabkan kita meyakini? Atau keyakinan itu muncul serentak begitu saja lewat intuisi kita? muncul bagai jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar? Lalu, mengapa kita harus benci? mengapa kita harus khawatir? mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh? Bagaimana kita bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena empiris itu yang kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita sehingga tingkah polah kita harus seperti ini dan itu? Indera, hati atau akal? Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita akan melihat alat atau sumberr-sumber pengetahuan manusia.
1. Indera
Manusia memiliki berbagai indera sebagai alat untuk mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. “Kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu.” begitulah ungkap Aristoteles. Berkaitan dengan ini Muthahhari mengilustrasikan dengan sebuah contoh orang buta sejak lahir bertanya “susu beras itu seperti apa?”. Meskipun orang berusaha menjelaskannya. Tetap sang buta tidak bisa mengerti warna susu beras itu.
Selain itu, indera juga terbatas. Pengetahuan yang dihasilkan oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya dalam melihat sesuatu akan sngat dipengaruhi oleh jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari kejauhan kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita melihat ada gumpalan air di atas aspal. Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya lebih dekat, tak ada apa-apa. Air yang tadinya tampak nyata ternyata menipu, bukan yang sebenarnya.
2. Akal
Di atas keterbatasan indera itu akal muncul sebagai alat epistemology lain yang melengkapi. Ini tak lepas dari fungsinya yang bisa merenung, memilah, membuang yang tak bermakna, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim, Murthada Muthahhari menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
a. Menerima pesan dari luar. Pada tahap ini akal menagkap objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam lokus mental.
b. Mengingat. Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari luar, akal mempunyai kemampuan menampakan kembali secara jelas.
c. Membagi atau Mengklasifikasi dan Menggabungkan atau Mensintesiskan. Dalam tahap ini akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau akal.
d. Abstraksi dan generalisasi. Dalam hal ini akal berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indera dari cirri-ciri individual dan partikularnya.
e. Perenungan atau penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba menghubungkan seerangkaian data untuk mengungkap dan mengetahui objek yang belum diketahui.
3. Hati
Dapatkah hati menjadi sumber pengetahuan. Jalaludin Rumi pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya mengetahui segala sesuatu. Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya, untuk keperluan ini kita bisa bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan keyakinan. Mungkinkah ini muncul dari rasio. Tidak ia muncul dari hati. Makanya, hati adalah alat epistemology. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Aksiologi Ilmu: Apakah Ilmu Bebas Nilai Atau Tidak?
Bagi sekuler yang memposisikan agama dan ilmu pengetahuan dalam oposisi biner menganggap bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan agama atau dogma-dogma tertentu. Ia lahir begitu saja dari kreasi akal dan indera, atau lebih tepatnya melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains. Tapi, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya? Apakah ilmu itu dibuat, dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu tidak terkait dengan manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya aplikasinya tanpa campur tangan manusia? Tidak, Ilmu tidak bebas nilai. Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk kemajuan dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan menakutkan? Ia telah digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer, pembobolan rekening, penyalahgunaan anggaran, pembohongan public. Dalam teknologi informasi kita melihat krisis dimana ia telah menjadi penyangga utama budaya pop atau endah yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’ dalam ruang mekanistikan.
Membongkar Ilmu Pengetahuan Barat: Rasionalisme dan Empirisme
Akar dari ilmu pengetahuan barat sebenarnya bertumpu pada rasinalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenarnya adalah yang berasal dari akal. Bapak aliran ini adalah Rene Desrates dengan “Cogito Ergo Sum”-nya. Dalam pencariannya Descrates mempertanyakan dengan dalil apa saya mengatakan ala ini demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada, dunia ini ada, paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian? Kemudian ia menguji berbagai alat epistemology namun tidak menemukannya. Akhirnya, ia kehilangan keyakinan dan kepercayaan. Ia pun mulai meragukan segala sesuatu. Dan, tatkala ia tenggelam dalam keraguannya, tiba-tiba disadarkan oleh poin yang ia katakana sendiri:”sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetati saya tidak ragu bahwa saya dalam keadaan ragu”. Dengan demikian”saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya tengah merasa ragu ini, asalah ada”. Munculah kemudian kata popular yang menggambarkan pemikiran Cartesian “ketika saya ragu, maka saya ada”. Tokoh lain pemerus Descrates adalah Spinoza dan Leibniz.
Sementara itu,empirisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan yang benar berasal dari indera atau pengalaman. John Locke adalah salah satu tokohnya selain David Hume dan Herbert Spenser yang juga banyak dikenal. Lock menyatakan bahwa tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita kecuali di dahului oleh pengalaman. Jiwa atau mind itu, tatkala seorang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih (tabula rasa), dan setiap ide yang diperolehnya selalu di dahului pengalaman inderawi. Sama halnya dengan Lock, Hume membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki datang dari kesan-kesan. Dan, Spenser dengan nada berbeda tapi semakna mengatakan bahwa kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar dibelakang gejala itu ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolute itu tidak dapat kita kenal. Di sini, Spenser hendak mengatakan bahwa hal-hal yang sifatnya metafisis tidak ada. Yang ada hanyalah fenomena-fenomena inderawi.
Memeluk Ilmu Pengetahuan Islam:
Akal, Indera, Hati dan Wahyu sebagai epistemology islam
Karena kerja akal, indera dan hati telah diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada interpretasi wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah inderawi), penafsiran (wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan sangat terkait dengan pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu sendiri. Ini dapat dipahami, meskipun beragam interpretasi dan memunculkan banyak kesimpulan tetapi sumbernya tetap sama yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sebelum menyelam ke kedalaman teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang oleh sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat sejarah islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa di tafsirkan. Faktanya, doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang juga lambing dai ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini kita pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama mazhab. Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat beragam. Ada yang bersifat fundamental ada juga liberal, ada yang menekankan pada teks ada pula yang menekankan pada rasio.
Bagi seorang ‘fundamentalis’ penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa; Pertama, penolakan terhadap hermenetika. Ia menolah interpretasi teks secara kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. mereka mengajukan alas an bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks tersebut. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan histories-sosiologis. Bagi mereka, pekembangan histories-bila perlu dengan kekeasa- harus disesuai dengan kitab suci. Dan, Keempat, mereka sering mengambil posisi oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran mutlak teks tersebut mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia anggap ‘sesat’. Tak jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi islam kaffah, kedaulatan tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’ teks yang dianggap tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan ditafsirkan ulang. Tak masalah baginya bila kemudian terdapat pemahan yang berbeda-beda. Untuknya, kala wacana hermenetika mencuat. Kaum liberal menyambut baik.
Berkaitan dengan teks ini Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistic terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas al-Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang dai realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang ditunjuknya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput dari pertimbangan untung-rugi (kepentingan).
Menurut saya, memang al-Qur’an tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang bersifat universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya normative-universal ada pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin Abdullah ada dimensi normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada teks-teks yang berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks yang pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan sosio-historisnya.
Maka bagi saya kita tak perlu rebut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan yang liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam juga karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, islam dalam teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita membicarakan kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja? bukankah kita hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita lupa dengan teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya nyuruh memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan penindasan kaum lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan ilmu adalah urusan teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan direalitaskan.
Sains versus Agama
Sains adalah bentuk pengetahuan modern yang paling berpengaruh dewasa ini. kemunculannya menjelma menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Sains bahkan dianggap telah membuat dunianya sendiri yang sering dianggap netral yaitu dunia sains. Bebas dari agama dan dogma-dogma. Jadilah, sains selalu dipertentangkan dengan agama. Paling tidak, usaha Galileo dan Copernicus yang sering dipertentangkan dengan kaum gereja semakin membuktikan bahwa agama dan sains saling beseteru, menyerang, membunuh, serta saling mematikan. Terlebih, dengan hasil-hasil penelitian yang menakjubkan seperti teori evolusinya Darwin, teori atom-nya Dalton, rekayasa genetika dan lains sebagainya telah mengganggu kenyamanan agama yang secara doctrinal bertentangan dengan penelitian itu. Meskipun, di abad 20 ini agama kembali bisa tersenyum karena Einstein muncul dengan teori relativitasnya.
Tapi, apakah benar sain itu bertentangan dengan agama? Orang yang dianggap paling cerdas di abad 20 Albert Einstein penemu teori relativitas sekaligus penghancur teori kuantum menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan dan kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat dipahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh.” Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa sains dan agama tidak diposisikan sebagai sesuai yang bertentangan melainkan saling melengkapi (integrasi).
Menelusuri Bayang-bayang Kematian Islam
Dalam persfektif ilmu yang telah saya urai di atas, saya mencoba memberanikan diri mengatakan bahwa Di bawah bayang-bayang kematian islam bukanlah fatamorgana. Bagi islam dan agama-agama lain. Dia tepat di depan mata kita. Paling tidak untuk menggambarkan dinamika keilmuan yang berpengaruh di era sekarang ini-saya dan kita harus mengakui-bahwa keilmuan barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme yang menjadikan manusia pusat segalanya merupakan kekuatan yang tidak tergoyahkan sekaligus menakutkan bagi islam. Bahkan dalam realitasnya kita ditaburi berbagai penjelasan bahwa islam kini tengah terpuruk. Pervez Hoodboy secara provokatif menggambarkan:
“Cobalah anda bayangkan sebuah tim antropolog dari Mars Mengunjungi Bumi sekitar abad ke-9 dan ke-13. Misi mereka adalah untuk mempelajari evolusi kebudayaan dan social manusia. Pengamatan mereka menunjukan bahwa masyarakat tertentu sangat dinamis dan berevolusi mencapai bentuk yang lebih maju dan lebih canggih, sementara masyarakat yang lain statis dan lumpuh karena tradisi dan tatacara agama. Pengunjung dari Mars ini melaporkan kepada markasnya bahwa peradaban yang mempunyai masa depan adalah peradaban islam dengan baitul hikmah, observarium astronomi, rumah sakit dan sekolahnya. …sementara eropa dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab, tenggelam dalam kemuraman abad kegelapam..Anggaplah kini tim mahluk asing yang sama datang kembali ke zaman ini. Dengan rasa malu mereka harus melaporkan kembali bahwa ramalan awal mereka ternyata salah. Sebagian umat manusia yang pernah tampak menawarkan janji peradaban tersebut, kini tak pelak lagi tersejabak dalam kebekuan abad pertengahan. Mereka menolak yang baru dan dengan frustasi bergantung pada kejayaan silam. Di lain pihak, yang tadinya tampak mundur telah menaiki tangga evolusi dan kini menuju bintang-bintang. Apakah pembalikan peran yang menakjubkan ini, Tanya para pengunjung dari Mars, apakah hanya sekedar kesialan satu pihak dan keberuntungan pihak lain?”
Hoodboy memang mengaitkan peradaban islam yang dimaksud dengan perkembangan sains. Ia hendak mengatakan bahwa ketertinggalan islam dalam bidang sains adalah karena ‘tidak dihargainya’ rasionalitas sebagaimana didewakan di dunia barat. Akibatnya, kubangan keterbelakangan dalam sains-hingga-kini belum beranjak dari jurang degradasi. Sebuah penelusuran yang menarik.
Namun bukan hanya sains saja yang sekarang menjadi perbincangan hangat dan ditengarai sebagai biang keladi berbagai problem sosial. Dunia keilmuan secara umum sedang banyak diperbincangkan. Apalagi terkait dengan agama. Termasuk islam. Keilmuan modern yang menyandarkan diri pada tradisi keilmuan barat sedang di gugat habis-habisan. Hal ini bisa dimaklumi karena manusia modern dengan pencapaian keilmuannya itu tidak hanya menemukan progressifitas melainkan juga degradasitas.
Peradaban dan kebudayaan kini (modernitas) yang merupakan buah keilmuan modern itu berserta tatanan social yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk (problem modernitas) bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya; Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-alam dan lain sebagainya telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan (eksploitasi) alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang objektivitas dan positivistis telah menjadikan manusia objek dan direkayasa bagai mesin. Al hasil, kehidupan menjadi tidak begitu ramah dengan hal-hal yang manusiawi. Ketiga, positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi yang dianut modernisme telah menyebabkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Apalagi ditambah dengan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam keilmuan modern telah menjadikan nilai-nilai agama terpinggirkan dalam kehidupan social. Timbulah kemudian kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain sebagainya. Keempat, modernitas telah menjadikan materi sebagai kekayaan paling utama yang kemudian membuka pintu persaingan bebas lebar-lebar. Dalam konsisi inilah agama kembali terdesak; dipaksa ikut aturan pasar atau mati kutu. Sebagai kelanjutannya menimbulkan, Kelima, kembalinya militerisme dan Keenam, tribalisme. Cukupkah hanya disini? Jawabannya tidak. Sebagaimana disebutkan, virus-virus keilmuan modern tidak berhenti pada wilayah ilmu-ilmu alam atau sains melainkan juga social budaya. Dan dalam hal ini modernitas menjadi ancaman berbahaya bagi agama karena karakteristiknya yang hegemonic, progressivisme, base on economy, refresif, homogenik, non-teleologik, disekuilibrik, dan sekularistik.
Mengacu pada fakta ini, apakah ini berarti bahwa keilmuan modern sarat dengan kolonialisasi? Secara gamblang Michel Foucoult menyatakan:”the will to know, the will to power”. Artinya: Awalnya hendak sekedar mengetahui telah berubah dikemudian hari menjadi penancapan kekuasaan. Poskolonial itu telah merayap dari penjajahan sebelumnya yang berbentuk fisik pada penjajahan yang lebih halus melalui pengetahuan. Pengetahuan telah dikonstruksi sesuai dengan kepentingan si pembuatnya. Kemudian agama hanya dipandang sebagai bumbu masakan yang bisa memuluskan pihak yang berkepentingan menggunakan ilmu pengetahun. Agama tidak ditempatkan sebagai norma yang mulai tetapi telah direduksi sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Paling tidak ini tampak jelas dalam cara beragama kita akhir-akhir ini. Beragama harus sesuai dengan setelan mode jilbab. Berhibah harus sesuai dengan waktu kampanye. Menghormati dan menghargai harus berdasarkan ukuran status sosial, besar tidaknya kekayaan, hingga cocok tidaknya dengan mode. Berdakwah pun mulus kalau dikasih honor tinggi. Lupa, bahwa agama telah dijadikan barang dagangan. Di tambah lagi dengan bantuan ilmu dan teknologi, agama dijadikan aksesoris seruan-seruan para kapitalis untuk menjualkan dagangannya.
Itulah yang saya maksud di bawah baying-bayang kematian. Kematian tidak selalu berarti hapus sama sekali. Kematian bisa berarti perpindahan bentuk dari yang satu ke yang lainnya. Dengan mengikuti alur logika ini, bisa jadi ke depan agama mengalami kematian itu. Agama yang akan kita temukan termasuk islam tidak otentis lagi. Tak ada lagi seruan moral pembebasan yang dapat diandalakan sebagai agama rahmatan lil alamin. Yang ada hanyalah tradisi islam superficial. kemanakah ilmu yang membebaskan manusia dari ketepurukan itu. Disinilah problem keilmuan barat yang telah menghempaskan nilai-nilai agama. Itulah, karena ilmu tidak dicipta dan dipakai sebagai alat pengabdian kepada sang pencipta dan hanya dijadikan pemuas nafsu manusia. Jadilah problem modrnitas menjadi penyakit akut yang hingga kini menghantui.
Ihab Habudin, Kabid PSDP KP HMI Yk
Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 06:47 0 komentar
Label: Wacana, Wawasan Ilmu
05 Agustus 2008
Ilmu dalam Perspektif Integralisme
Oleh: M. Habibi
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. namun sebelum berbicara tentang integrasi ilmu, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang perspektif yang kita gunakan, yaitu integralisme.
Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.
Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.
Sekilas memang terasa aneh, karena secara ekonomi mereka telah menempati pada posisi yang mapan, tidak kekurangn harta benda yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka. Namun orang akan mengerti dan memahami fenomena tersebut setelah mengetahui apa sebenarnya yang mereka inginkan.
Kehidupan modern yang terlalu mengunggulkan akal dan menjadikannya raja membuat pemuda-pemuda ini terasa kering dan terasing, bahakan dengan diri mereka sendiri. Mereka melihat ada satu bagain kehidupan ini yang hilang, sehingga kehidupan mereka terasa parsial. Dan sesuatu yang hilang tersebut mereka temukan di masyarakat pedalaman, masyrakat tradisional. Yang mereka cari adalah spiriualitas yang membawa kesejukan dalam kehidupan mereka. Spiritualitas inilah yang hilang dalam kehidupan Barat modern, diakibtakan oleh pandangan saintifik positifistik.
Setelah bermukim beberapa lama di pedalaman bersama suku-suku Indian tersebut, para pemuda ini ternyata tidak hanya sekedar menemukan spiritualitas, dimensi yang hilang dalam kehidupan Barat modern, tetapi dengan spiritualitas ini pula mereka justru menemukan suatu pandangan yang lebih menyeluruh terhadap realitas. Di sini mereka mendapatkan kesadaran akan kemenyeluruhan atau sering disebut holon yang kemudian dikenal dengan holisme. Mereka kemudian membuat gerakan yang mereka sebut gerakan pasca-modernisasi. Berbeda dengan gerakan mereka sebelumnya yang meninggalkan modernitas dan masuk ke pedalaman, gerakan mereka kali ini justru mensintesakan yang tradisional dengan yang modern.
Secara aksiologi, holisme dibangun oleh para pecinta lingkungn. Secara epistemologis dibangun oleh para psikolog yang memasukan pengalaman mistik sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan. Sementara pada ranah ontologi dibangun oleh fisikawan Fritjof Capra yang mengatakan bahwa ada kesejajaran antara partikel material dengan kesadarn mistis Timur.
Setelah mengamati pandangan holisme tersebut, Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam tidak perlu untuk meninggalkan dunia mereka dan beralih mencari dunia lain di pedalaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemuda-pemuda Barat, karena Islam sendiri telah memiliki konsep kesatupaduan. Konsepsi kesatupaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau al-himah al-wahdatiyah.
Integralisme adalah filsafat yang konsep sentralnya adalah integralitas, yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu padu berdasarkan suatu struktur tertentu. Dengan kata lain, integralisme merupkan wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu: baik sain dan teknologi dan seni, maupun budaya dan agama. Integralisme melihat semua itu sebagai satu kesatupaduan yang tak bisa dipecah ataupun dipisahkan dari kesepaduan realitas.
Berbeda dengan integrasi pada pandangan holisme, integralisme menyarankan dua integrasi yang internal dan yang eksternal. Integrasi internal adalah upaya menyelarasikan tubuh kita dengan ruh kita melalui rantai instink, inteligensi dan intuisi. Sedangkan integrasi eksternal adalah menghubungkan diri kita dengan Tuhan melalui lingkungan hidup, alam semesta dan alam gaib.
Dari sini nampak jelas bahwa basis keilmuan Armahedi serta pandangan dia tentang kesatupaduan menempatkan dia pada sayap kanan dalam pemikiran kaum posmodernisme. Istilah integralisme sendiri sebenarnya telah dipakai oleh Sri Aurobindo (1872-1950), yang terkenal dengan integral yoganya. Selain itu, istilah ini juga dipakai oleh Ken Wilber, seorang filosof yang menggabungkkan antara sains modern dan spiritualitas tradisional, sehingga Armahedi sering menyebut filsafatnya sebagai Integralisme Islam. Dikatakatan integralisme Islam karena Armahedi menambahkan deminsi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber.
Armahedi juga menyebut filsafatnya sebagai pos-strukturalisme timur. Menurutnya ada dua alasan mengapa integralsime disebut sebagai Pos-struktrukturalisme Timur ,
karena lahirnya di Indonesia yang di Asia yang menurut orang Barat ada di Timur. Saya sebut pos-strukturalisme karena integralisme memang bermula dari strukturalisme yang diterapkan untuk filsafat Eropa, bukan mitologi Indian seperti yang diterapkan oleh Levi-Strauss, lalu dilampaui dalam suatu filsafat Integralisme. … Alasan kedua: integralisme universal yang dikembangkan Ken Wilber, sebagai posmodernisme konstruktif melampaui postrukturalisme, sebagian besar berdasarkan filsafat India: Budhisme dan Vedantisme.
Dengan demikian, kemunculan filsafat integralisme ini merupakan kelanjutan sekaligus sintesis dari filsafat tradisional Islam dan filsfat Barat moder.
Integrasi Ilmu
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. Konsepsi wujud yang mengakomodir dunia metafisik di atas menjadi pondasi bagi terbangunnya sebuah epistemologi, karena sebagai muslim yang mempunyai kepercayaan penuh pada dunia metafisik, maka seorang ilmuwan muslim harus menyusun atau memiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan kepercayaan yang dianutnya.
Berbicara tentang ilmu, maka ada beberapa hal yang harus dibahas, yaitu sumber, objek, struktur dan konteks ilmu. Keempat hal ini akan menjadi satu kesatuan yang utuh.
1. Sumber Ilmu
Sebagai seorang muslim, Armahedi meyakini bahwa dalam Islam sumber semua ilmu adalah satu, yaitu Allah SWT. Yang Maha Esa, Kepercayaan seorang muslim akan Allah sebagai Tuhan Yang maha Esa mempunyai implikasi yang sangat luas. Keyakian yang menandaskan akan ke-esa-an Tuhan dalam Islam disebut dengan tauhid.
Menurut Musa Asy’arie, tauhid yang seakar dengan angka satu, wahidah, tidak merujuk pada pada makna angka satu saja, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak terbagi-bagi. Ia menjadi sumber realitas yang ada. Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa tauhid ini bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim.
Allah sebagai sumber segala ilmu dapat dilihat dari bagaimana Allah mengenalkan diri-Nya sebagai `Aliim atau Yang Maha Mengetahui, bahkan Allah sendiri adalah ilmu itu sendiri.
2. Objek dan Praksis Ilmu
Dalam melihat objek ilmu, Armahedi melakukan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Quran. Menururtnya, meski Al-Quran menyebut ilmu dalam kontek yang berda, namun objeknya dijelaskan secara gamblang, yaitu “al-Quran” dan “al-Bayan”. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT sebagai surat Ar-rahman 1-4:
Artinya: (Tuhan) yang Maha pemurah. Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Ar-Rahman 1-4).
Al-Quran yang dimaksud oleh Armahedi bukan al-Quran sebagaimana artian firman Allah SWT yang telah terkodifikasikan, tetapi al-Quran dalam artian yang lebih luas yang merujuk pada makna asalnya, yaitu bacaan. Bacaan dalam arti lebih luas lagi adalah pengumpulan atanda-tanda atau “ayat”. Untuk memahami ayat ini dibutuhkan alat, yaitu bahasa atau al-bayan.
Terkait dengan “ayat”, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya dalam surat Fushshilat :53. Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.
Dalam ayat Quran suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahw ayat-ayat itu adalah cakrawala (afaq) dan di dalam diri-diri (anfus) manusia. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut diciptakan agar manusia memahami kebenaran (al-Haq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya Al-Quran. Dengan demikian di sini ada tiga entitas yang berbeda yang merupakan obyek limu pengetahuan.
Pertama adalah al-afaq atau cakrawala. Hal ini berkaitan dengan objek material yang berada di eksternal diri manusia yaitu gejala-gejala alam. Menurut Mulyadhi Kartanegara, objek-objek material inilah yang memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alam, seperti fisika, biologi dan kimia.
Kedua adalah anfus atau sesuatu yang berada dalam diri manusia. Pada bagian ini terkait dengan ilmu-ilmu kemanusia atau humaniora, seperti pskiologi, sosiologi dan antropologi. Ketiga adalah al-Haq atau Allah dan Al-Quran. Pada sisi ini akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi, dan tashawuf.
Pembagian objek ilmu Armahedi ini sama dengan pembagian yang dilakukan oleh Ibn Shina. Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, Ibnu Shina membagi objek ilmu dalam tiga hal, yaitu entitas-entitas yang bergerak dan berkaitan dengan materi spesies partikular, entitas-entitas yang terpisah dari materi spesies partikular dalam pemahaman kognitif, tetapi tidak dalam dunia nyata, dan entitas-entitas yang terpisah dari gerak dan materi baik di dunia nyata maupun dalam pemahaman kognitif.
Sementara pada ranah praksis ilmu, Allah dalam firman-Nya menegaskan ada tiga macam alat manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Al-Quran surat as-Sajadah : 9 yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Dari sini dapat dilihat potensi-potensi manusia yang merupakan alat untuk memeperoleh pengetahuan. Pertama: as-sama` atau pendengaran yang berarti terkait dengan kemampuan verbal. Sementara kemampuan verbal sendiri sangat erat hubungannya dengan kemampuan rasional. Dengan demikian as-sama’ juga berarti kemampuan manusia untuk berfikir rasional. Bahasa lain yang digunakan untuk kata ini adalah al-‘aql atau akal.
Kedua: al-bashar atau penglihatan. Hal ini terkait dengan fungsi mata, yang berarti pengamatan terhadap entitas material. Sementara ketiga: al-fuad atau hati, merupakan kemampuan manusia mengetahui sesutu yang inmaterial. Ada kemungkinan bahwa ilmul yaqin sebenarnya puncak dari pemahaman verbal, ‘ainul uaqin sebenarnya puncak dari pemahaman visual dan haqqul yaqin sebagai puncak dari pemahaman aktual atau penghayatan ilmu.
Jika dirangkum menjadi satu maka dapat dilihat seperti ini. Objek ilmu pertama adalah afaq atau cakrawala yang berarti gejala-gejala alam. Hal ini bersesuain dengan al-bashara (penglihatan). Dengan demikian alat untuk mencerap pengetahuan tentang gejala-gejala alam adalah al-abshara, Karena objek pertama ini adalah alam, maka kebenarannya adalah kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal fisik dan material semata, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan menggunakan metode empiris.
Objek kedua ilmu penegtahuan adalah anfus yang berkaitan ilmu-ilmu humaniora. Hal ini bersesuaian dengan al-sama’ atau kemampuan verbal yang juga berkait dengan kemampuan rasional. Maka sama’ ini merupakan alat unutk memahami keilmuan humaniora. Dan metode yang digunakan adalah rasional demonstratif.
Sementara objek ilmu yang ketiga adalah al-haq. Untuk memahami yang al-Haq tadi adalah dengan hati atau fuad, karena di sanalah ruh ilahiah berada. Metode yang digunakan adalah metode intuitif, atau dzauqiyah. Metode ini sering berkaitan dengan pengalaman mistik seseorang. Metode ini dilakukan dengan jalan perenungan atau kontemplasi secara intens mendalam. Dengan kontemplasi jiwa mansia makin dibersihkan dan berhasil naik ke sumber kenyataan, dengan semuanya diemanasikan dari-Nya.
3. Struktur dan Konteks Ilmu
Struktur ilmu dalam Islam dapat diketahui dalam firman Allah SWT QS. An-Nisa 113 yang artinya: “… Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.
Berdasarkan ayat ini jelas terdapat hirarki al-Kitab, al-Hikmah dan al-‘Ilmu yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi dalam Islam ilmu mempunyai landasan al-Hikmah, sedangkan al-Hikmat harus berlandasakan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi pada para rasul-rasul-Nya.
Ilmu yang dimaksud oleh Armahedi dalam konteks ini adalah sains, sehingga sains harus berlandaskan pada al-Hikmat atau paradigma keilmuan, dan al-hikmah harus berlandaskan pada nilai-nilai Al-Quran.
Pada konteks keilmuan Barat saat ini, Armahedi melihat ada suatu dikotomi yang kemudian berujung pada prinsip ilmu bebas nilai. Hal ini menurutnya bertentangan dengan paradigma kelimuan dalam Islam. Karena dalam Islam terdapat kesatupaduan ilmu, etika dan agama. Dalam hal ini Armahedi merujuk pada QS. Luqman : 20. “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.
Urutan Penyebutan al-‘ilmu, al-huda dan al-kitab menyarankan adanya hirarki ilmu – etika - religi. Dengan demikian tidak ada penggunaan iilmu yang menyimpang dari etika dan agama, karena semua itu sesengguhnya adalah sebagai upaya untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.
Dengan menggunakan metode analisis strukturalisme Levi Strauss, Armahedi mencoba untuk melihat paradigma keilmuan modern. Di sini Armahedi menemukan struktur-struk keimuan modern. Struktur pertama terdiri dari ilmu pengetahuan-seni-teknologi. Dan yang kedua adalah filsafat-misti-etik. Mistik menjadi fondasi bagi seni. Filsafat menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan, sementara teknologi harus berlandaskan pada etika.
Setelah menelusuri paradigma keilmuan barat tersebut, Armahedi melihat masih adanya perpisahan antara kelimuan tersebut, bahkan kadang sering bertentangan satu sama lainnya. Terlebih lagi paradigma tersebut masih bersifat skular. Untuk itu dia malakaukan penelusuran dalam paradigma keilmuan Islam dan menemukan struktur tauhid-tasawuf-fiqih. Karena Islam menekankan keseimbangan antara yang lahir dan batin, individu dan kolektif, maka struktur ini menjadi penengah antar ilmu pengetahuan-seni-teknologi dan filsafat-mistik-etika. Ketiga struktur ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan seimbang.
Kaki Ilmu pengetahuan-tauhid-filsafat menyangkut pikiran-pikiran manusia. Seni-tasawuf-mistik berkaitan dengan perasaan. Sementara tekonologi-fiqh-etika berkaitan dengan tingkah laku manusia. Jika diperhatikan dengan seksama, kaki struktur di atas menyangkut fungsi-fungsi “kognitif”, “afektif” dan “konatif” (psikomotorik-penulis) dari kesadaran manusia. Atau dalam bahasa lain fikr, dzikr dan ‘amal.
Dalam pandangan integralisme, realitas pastilah mempanyai kelima struktur wujud sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Begitu juga dengan ilmu yang juga mempunyai ontologinya sendiri. Ilmu juga harus mempunyai kelimanya. Dengan demikian akan didapatkan satu struktur keilmuan Islam sebagai berikut:
Struktur Keilmuan Islam
Kategori Integral Disiplin Keilmuan
Sumber Ilmu-ilmu Al-Quran
Nilai Ilmu-ilmu keagamaan
Informasi Ilmu-ilmu kebudayaan
Energi Ilmu-ilmu terapan
Materi Ilmu-ilmu kealaman
Dengan demikian Al-Quran menjadi sumber dan ruh bagi keilmuan-keilmuan yang lainnya. Dia menjadi sumber karena dalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip keilmuan sosial, budaya, alam dan terapan yang akan bermanfaat dalam kehidupan manusia
Subscribe to:
Posts (Atom)
A List of Open-Access Refereed ELT Journals
This list is devoted to providing information on 27 free-online-access refereed journals to language teachers, teacher educators, scholars, ...
-
Busuu adalah jejaring sosial terbesar di dunia untuk belajar bahasa, yang menyediakan kursus 12 bahasa di web dan perangkat seluler kepada l...
-
Kilck here https://drive.google.com/open?id=0BxZsTu7Dct4GTVhRUWpreHo3amc
-
1. What is phonology? 2. What are the view-points from which speech sounds can be studied? 3. Why is articulation phonetics mo...