Skip to main content

KUMPULAN MATERI LK 1: WAWASAN SOSIAL

Wawasan Sosial
Penindasan Negara Terhadap Umat Islam
Oleh: Moh. Syafe'i

Sangat susah untuk tidak mengatakan bahwa Negara tidak menindas umat Islam. Kita ketahui sampai saat ini berbagai survey di Indonesia masih secara tegas mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia ialah mayoritas. Lebih 80% penduduk Indonesia dihuni oleh mereka yang beragama Islam. Walaupun pemegang kebijakan eksekutif, legislatif dan yudikatif ialah mereka juga yang mengaku Islam. Namun posisi mereka ialah pemegang kebijakan (state) sedangkan masyarakat muslim yang menjadi korban merupakan warga negara (civil society).

Memang harus kita akui bahwa masyarakat muslim tidak bisa digeneralisasi dalam satu kutub kekuatan. Misalkan beberapa pengamat baik dari barat maupun internal Islam masih berpandangan bahwa umat Islam terpecah menjadi beberapa kutub ; Islam modernis dan tradisionalis, Islam Kultural dan struktural, Islam priyayi, abangan dan santri. Bahkan Luthfi Assyaukanie seorang penggerak Islam liberal di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa musuh utama dari gerakan pembaharuan Islam adalah kelompok konservatisme dan fundamentalisme. Konservatisme menjadi musuh karena menjadi penghalang dari gerakan liberalisme sejak pertama muncul. Sedangkan fundamentalisme menjadi musuh karena ia lahir dari konstelasi Islam politik.

Disamping itu kita harus akui bahwa gerakan Islam saat ini terpecah cukup banyak sekali. NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, MMI, Anshorut-Tauhid dan sangat banyak lagi lainnya. Sangat susah untuk mengeneralisasi umat Islam. Tulisan ini tidak ingin terlibat dalam hiruk pikuk kutub-kutub gerakan keagamaan itu tetapi ingin meletakkan umat Islam sebagai warga sedangkan penguasa sebagai pemangku kebijkakan. Umat Islam mempunyai hak-hak dan Negara bertanggungjawab pemenuhannya.

Jika umat Islam mengalami kekerasan dan dilanggar hak-haknya oleh Negara maka umat Islam layak ditempatkan sebagai korban. Secara definisi dalam Deklarasi Prinsip Keadilan bagi Korban Kejahatan Penyalahgunaan kekuasaan yang disebut korban ialah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk secara fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).

Dengan terminologi ini, penulis akan mencoba melukiskan sekian peristiwa kekerasan dan pelanggaran terhadap umat Islam yang dilakukan Negara khususnya di era orde baru. Karena di era orde baru inilah penghancuran umat Islam terjadi sistematik. Kekerasan dan pelanggaran ini cukup menghebohkan dimasanya. Tetapi kasus-kasus tersebut banyak yang tidak terekam dalam memori publik dan seakan dihapuskan dari jejak sejarah gelap kekuasaan Indonesia.

Kekerasan Sipil-Politik

Ada sebuah menarik berjudul “Derita Kaum Muslimin di Indonesia Sejak 1980-2000” ditulis oleh Al-Chaidar dan Tim Peduli Tapol Internasional. Buku ini merekam kejadian kekerasan yang menimpa kaum muslimin di Indonesia di era orde baru. Dikatakan dalam pengantarnya :

“…Kaum muslimin bangsa Indonesia, tinggal menuai badai-menghitung korban tragedi. Darah tertumpah, air mata pilu, wanita diperkosa, anak-anak menjadi yatim piatu, harta benda dijarah atau dibakar musnah. Semuanya berpadu dalam tragedi akibat bencana yang menimpa kaum muslimin, sejak peristiwa Tanjung Priok (1984), Lampung-Talang Sari Berdarah (1989), DOM di Aceh (1989) hingga Ambon (1999) dan Maluku Utara (2000). Seluruh peristiwa ini terjadi, bukan lantaran kaum muslimin ikut menabur angin, lalu akhirnya menuai badai, melainkan karena amanat kepemimpinan bangsa ini tidak berada di tangan mereka yang berhak menerimanya. Karena itu dia tidak menunaikan amanah tersebut secara benar, maka bencanalah yang akan timbul”

Uraian yang cukup menyayat hati. Tragedi kemanusiaan itu telah menelan korban yang cukup banyak. Ribuan bahkan. Selain kasus yang ada diatas masih banyak kasus kekerasan yang lain sebutlah Komando Jihad yang menelan ribuan korban aktifis Islam di seluruh Indonesia, Pembajakan Woyla, pembunuhan ulama’ di Banyuwangi, kasus usroh, penangakapan aktifis Islam akibat asas tunggal dan lainnya.

Berbagai peristiwa itu diliputi oleh penangkapan, kekerasan dan kesewenang-wenangan. Termasuk salah satunya terlihat dalam rekayasa putusan hukum para korban. Pengadilan yang menjadi tempat bergantungnya keadilan dan kebenaran ternyata telah menjadi alat kekuasaan yang lalim. Itu tergambar secara jelas dalam kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, Pembajakan WOYLA (1982), Peledakan BCA (Oktober 1984), Pengeboman Candi Borobudur di Magelang, Peledakan Bis Pemudi Ekspres di Malang (1984), kasus Pesantren Kilat di Malang (1985), dan Gerakan Usroh di Jateng dan DIY tahun 1986.

Kasus kekerasan sipil yang menimpa umat Islam tidak bisa dilepaskan dari politik kekuasaan orde baru. Umat Islam yang mayoritas pasti mempunyai kekuatan politik yang besar. Pasca krisis orde lama dan dihancurkannya komunisme, tokoh-tokoh Islam secara sadar punya potensi maju dalam kepempimpinan Indonesia. Perihal inilah yang menjadi dasar rekayasa sistemik penghancuran umat Islam. Bahkan lembaga CSIS salah satu think-thank orde baru yang dibidani Ali Murtopo menyebut Islam sebagai faktor penghambat pembangunan di Indonesia. Ali Murtopo yang juga seorang OPSUS menyebut tahun 1970-an sebagai tahun yang menentukan untuk membangun Indonesia. Rekayasa-rekayasa penghancuran itupun dimulai. Aktifis Islam di era orde baru distigmakan sangat jelek dan menakutkan. Banyak tokoh dan aktifis Islam yagn dipinggirkan, ditangkapi dan dipenjara secara sewenang-wenang. State discourse dan terorisme betul-betul nyata terhadap umat Islam di era rezim orba.

Termasuk aktifitas politik tokoh-tokoh Islam dipantau sedemikian rupa. Aspirasi politik umat selama orde baru dikerdilkan habis-habisan. Ketika ada pemilu selalu ada pembohongan, rekayasa dan manipulasi data. Golkar sebagai partai penguasa tidak pernah terkalahkan. Walaupun kita tahu umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Negara dengan kekuatan militernya terlihat kuat, tertib dan tanpa kritik.

Bencana Ekonomi Publik

Kondisi Negara di era rezim orba yang begitu dominan dan hegemonic mengantarkan pada sistemiknya privatisasi Negara. Rezim orba menjelma sebagai Negara yang clientist dan koruptif. Otoritas dan kewenangan kenegaraan diarahkan untuk memperkaya elit dan keluarga besar penguasa. Perusahaan-perusahaan internasional dan nasional menjadi clien strategis Soeharto dan keluarganya. Diantara mereka ada Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan di dunia internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan banyak lagi lainnya.

Umat Islam yang mayoritas di Indonesia jelas tidak lagi mendapatkan hak-hak ekonominya. Kekayaan Negara berputar dan menumpuk di area keluarga besar Soeharto dan clientnya. Ketimpangan kaya dan miskin mulai terlihat, aset-aset bangsa diperjual belikan blak-blakan, penggusuran atas nama pembangunan mulai terjadi, dan kebijakan ekonomi pasar dibangun serius oleh teknokrat Berkeley di kementrian. Atas skandal itu, rezim Soeharto dikasih sebutan “Macan Asia” dan dipuja-puja oleh clientnya Amerika.

Aktifis Islam yang mencoba kritis terhadap kebijakan ekonomi Soeharto ditangkapi. Kaum buruh yang menentang kesewenang-wenangan perusahaanpun dihancurkan. Mungkin kita masih ingat dangan kasus Marsinah, peristiwa Malari dan Waduk Kedungombo. Segelintir peristiwa yang terjadi akibat perlawanan dan pergolakan akibat ketidakadilan kebijakan negara. Hebatnya dalam kasus tersebut Negara menggunakan tangan besinya untuk membunuh penentangnya. Marsinah dibunuh tanpa ampun. Aktifis yang terlibat di Malari ditangkapi secara represif. Demikian juga terhadap warga di Waduk Kedungombo. Kebijakan developmentalisme di era rezim orba juga berjalan tanpa hambatan, horor dan sangat kejam.

Puncak Kekerasan Terhadap Umat

Setelah sedemikian lama Negara menindas rakyatnya. Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan. Akhirnya itu memuncak ketika menjelang tahun 1998. Negara orde baru yang telah clientist dan koruptif mengantarkannya pada krisis ekonomi yang sangat akut. Kebijakan ekonomi pembangunan yang dirancang teknokrat ekonom berkeley hancur. Krisis moneter dunia meluluhlantakkan perekonomian Indonesia. Sembako dan kebutuhan publik menjadi sangat mahal sedangkan subsidi Negara tidak memungkinkan.

Krisis salah urus kebijakan inilah yang mengantarkan Soeharto menjual Indonesia kepada IMF yang dari dulu memang sudah menjadi partnernya. Soeharto meminta IMF pada tanggal, 8 oktober 1997 yang kemudian meminta Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan dengan IMF bertanda tangan dalam sebuah Letter of Intens, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah mempertegas posisi IMF untuk menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia.

Krisis yang bermula akibat pembangunan mikanisme pasar di era orba dan peneguhan positioning IMF kembali di tahun 1997, membuktikan kebegisan dan kekejaman rezim orde baru. Orde baru secara sadar telah menggadaikan Negara dan memperjualbelikan rakyatnya. Krisis demi krisispun terjadi sedemikian dahsyatnya. Mulai dari lepasnya Negara mengurus kebutuhan rakyatnya, asset-aset diperjualbelikan, dan proyek militer terus ditingkatkan.

Dampak kekerasan itu semua saat ini terjadi peningkatan kaum miskin yang sangat besar, eskalasi pembunuhan, kebodohan, eksploitasi bumi, pencemaran dan kekerasan yang semakin menggila. Efendi Sirajudin dalam bukunya “Memerangi Sidrom Negara Gagal “ menyatakan :

“Sudah lebih dari enam dasawarsa Indonesia Merdeka, tetapi perjalanan panjang bangsa tidak bergerak menuju tatanan kehidupan sebagaimana yang dulu dicita-citakan oleh para pendiri ripublik. Sejauhmata memandang, dihampir semua sektor kehidupan dewasa ini tersaji potret dengan wajah buram. Era reformasi yang sempat menerbitkan harapan bagi dimilikinya landasan kokoh untuk melakukan perubahan, ternyata tidak berjalan pada track yang benar. Indonesia bahkan terancam menjadi Negara gagal (failed states)”

Umat Islam sebagai mayoritas masyarakat di Indonesia dengan kondisi Negara yang menyedihkan ini tentunya mereka telah didzalimi dan dilanggar hak-haknya. Mereka dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang menindas dan penuh kekerasan. Minimal dua hal yang kita bisa lihat secara telanjang, pertama, saat ini umat Islam secara sistemik menjadi korban karena dipaksa hidup dalam manajemen dan sistem ekonomi negara yang sangat kapitalistik (ribawi). Agama Islam jelas menentang ideologi ribawi dan hukum seorang muslim yang melaksanakannya haram. Kedua, umat Islam sampai saat ini masih menjadi korban kekerasan Negara dengan masih dihidupkannya penstigmaan dan penangkapan sewenang-wenang dengan tuduhan terorisme. Sungguh menyakitkan.

Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 15:59 0 komentar

Label: Wacana, Wawasan Sosial


28 Agustus 2009
Politik dan Budaya Kekerasan
Oleh: M. Habibi



Belakangan ini kita terlalu sering disuguhi oleh pemberitaan tentang kekerasan-kekerasan, khususnya yang terjadi di Indonesia, baik melalui media cetak maupun tayangan-tangan di media elektronik audio-visual. Saben hari kita “dipaksa” untuk menonton pemberitaan-pemberitaan tentang pembunuhan, pemerkosaan, penggusuran para pedagang kaki lima (PKL), perkelahian antar warga sampai tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Contoh kasus terkini adalah penembakan di Papua, pengeboman yang terjadi di Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton. Peristiwa pengeboman tersebut juga mengingatkan kita kembali pada peristiwa pengeboman yang terjadi di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu, kemudian di Bali, baik itu Bom Bali I maupun Bom Bali II yang telah banyak memakan korban jiwa. Belum lagi konflik antar daerah, antara suku yang terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Dan entah, berapa banyak lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi dengan berbagai macam bentuknya.


Dalam satu forum budaya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun melontarkan satu pertanyaan, apakah konflik, kekerasan yang terjadi di Indonesia ini adalah merupakan geniun budaya Indonesia, atau ada faktor lain yang di luar itu yang menyebabkan manusia Indonesia melakukan kekerasan?

Mendefinisikan Kekerasan
Kekerasan biasa diterjemakan denan kata violence yang berkaitan erat dengan gabungan kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari feree, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan berarti sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan.

Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. (I Marsana Windhu: 1992). Definisi ini berpijak pada pikiran bahwa manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya yang merupakan bahan untuk pertumbuhan pribadinya. Sementara pertumbuhan pribadi merupakan integritas diri (self) soma, dan fisik manusia. Apabila potensi-potensi diri manusia tersebut tidak teraktualisasi, maka di sanalah terjadi kekerasan. Aktualisasi tersebut bisa dalam bentuk aktifitas berfikir, termenung dan aktifitas yang nampak oleh kasat mata. Aktualisasi potensi juga menuntut terpenuhinya prasyarat pertumbuhan pribadi berupa kebebasan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan, karena hanya dengan itulah potensi-potensi manusia dapat teraktualisasi dan pribadi akan tumbuh secara manusiawi.

Macam-Macam Kekerasan
Dari pengertian di atas, segala sesatu yang menghalangi proses aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi bisa disebut sebagai kekerasan. Dari sinilah Galtung membagi kekerasan menjadi dua jenis. Pertama kekerasan langsung. Kekerasan ini juga sering disebut sebagai kekerasan personal, yaitu kekerasan ini yang dilakukan oleh satu atau sekelompok actor kepada pihak lain (“violence-as-action) (Mohtar Mas’oed:1997). Kekerasan langsung, dengan demikian, dilakukan oleh seseorang ata sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan dan seringkali berakibat fisik. Dalam kekerasan ini juga jelas siapa subjek dan siapa objek, siapa pelaku siapa korban.

Kedua kekerasan tidak langsung. Galtung menyebut kekerasan ini sebagai kekersan struktural. Kekerasan ini merupakan “built-in” dalam suatu struktur (“violence-as-structure). Kekerasan ini lebih banyak terjadi pada ranah pskis, meski beberapa juga pada ranah fisik. Apabila dalam kekerasan langsung jelas siapa subjek dan objeknya, maka dalam kekerasan tidak langsung atau struktural tidak jelas siapa subjek atau pelakunya. Adanya kasus gizi buruk yang berujung pada ketidaknormalan pertumbuhan diri atau bahkan kematian, bukanlah disebabkan oleh kejahatan seseorang atau sekelompok orang, melainkan akibat dari struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik yang timpang dan tidak adil. Inilah kekerasan stuktural.

Kekerasan di Indonesia
Tulisan ini tidak akan cukup jika penulis harus mendata kekerasan yang terjadi di Indonesia, meski itu sebatas kurun waktu pasca reformasi. Namun untuk membicarakan kekerasan perlu kita melacak akar kesejarahan kekerasan di negeri ini.

Berbicara kekerasan di Indonesia, seringkali kita mengacungkan jari telunjuk menunjuk pada rezim Orde Baru sebagai biang keladi semua kerusuhan yang ada. Namun cukupkah segala kesalahan itu dilemparkan hanya kepada orde baru? Belum tentu, kita ahrus menilik pada masa sebelumnya sampai pada masa colonial.

Kekerasan memang tidak dimulai dari masa colonial, tetapi kolonialisme secara signifikan telah memproduksi kekerasan ke dalam sistemsistem yang berdaya jangkau lebih luas dari pada sekedar lokalitas kerajaan-kerajaan tradisional, berdaya paksa lebih kuat, dan lebih tahan lama. Henk Schulte Norholt melacak bahwa kekersan yang terjadi berawal dari penggunaan jago (preman desa) untuk menjaga wibawa, menghadapi perlawanan rakyat. Pemerintah colonial bekerja sama dengan kriminal untuk kepenting-kepentingannya, sementara para preman dibiarkan untuk beroprasi asal tidak jelas-jelas melanggar hukum (B. Bahri Juliawan: 2003). Model semacam inilah kemudian yang diwarisi oleh penguasa pasca kolonial sampai dengan saat ini. Pada pemerintahan Orde Baru, preman-preman dipelihara sebagai kendali kebijakan pemerintah, namun setelah tentara kuat, para preman ini dibasmi. Tentara kemudian menjadi alat kekerasan negara. Pada masa-masa akhir 80-an banyak orang-orang yang hilang misterius dikarenakan mereka dianggap menentang pemerintah. Semua itu dilakukan atas nama stabilitas nasional.

Penggunaan militer sebagai alat kekerasan negara pasca reformasi memang berkurang, namun bukan berarti penggunaan-penggunaan kekuatan semacam itu tidak ada. Kekuatan-kekuatan tersebut bermutasi menjadi kekuatan sipil yang menyerupai militer sebagai alat negara untuk tameng negara untuk melakukan kekerasan, penggusuran dan hal yang serupa.

Jika dicermati masa pasca kolonial tadi, dapat dilihat bahwa kekerasan digunakan untuk melanggngkan kekuasaan. Kekersan telah menyatu dengan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, kekerasan seperti ini sengaja dipelihara. Inilah yang oleh Jean Baudrillard sebagai simulakrum kejahatan, yaitu kekerasan, horror, dan terror yang diciptakan sedimikian rupa, sehingga ia tampak seolaholah terjadi secara alamiah, padahal direkayasa (Yasraf A. Piliang: 2005). Kekerasan-kekerasan tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah bisa menjamin keamanan rakyatnya. Kekerasan diciptakan sedemikian rupa, sehingga muncul imag kelompok tertentulah yang melawan pemerintah, melawan negara, dan meraka harus dibasmi.

Akibat semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, kekerasan pun semakin kompleks. Kekuasan dan kekerasan yang ada dibaliknya dilengkai teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi. Kekerasan ditutup topeng dan tirai. Kekerasan yang mutakhir yang didukung oleh kecanggihan teknologi adalah terorisme. Bukan hanya karena dia menggunakan bom, tetapi manajemen perencanaan juga dengan manajemen tinggi. Sampai saat ini baru diketahui siapa yang melakukan peledakan bom, namun tidak diketahui siapa dalang sebenarnya. Kalaupun ada, itu sebatas tuduhan, karena pada kenyataan ada missing link. Terorisme, ketika sudah bersentuhan dengan teknologi informasi, menjadi satu simbol yang melahirkan makna. Makna itu misalnya bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Makna ini bisa ditukar misalnya dengan akses investigasi Negara lain ke wilayah Indonesia. Di sini kemudian terjadi erseingkuhan antara Negara dan kepentingan asing. Hal ini biasanya merugikan rakyat, karena sebagaimana Undang-Undang anti teror yang diadopsi dari Negara lain ternyata memberikan kesempatan kepada aparat untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.

Secara psikologis, kekejaman yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama dapat meimbulkan trauma pada korban, pada orang yang menyaksikan, atau bahkan pada pelaku sendiri. Lewat perjalanan yang panjang, setiap orang didik untuk mempunyai inisiatif sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan. Kekerasan telah menjadi bagian akrab dari keseharian kita, seolah-olah setiap kali hendak menyelesaikan masalah serta persoalan satu-satunya pilihan adalah kekerasan (B. Bahri Juliawan: 2003). Kekerasan telah menjadi kebiasaan. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan atau kejahatan yang banal, yaitu praktik kejahatan yang dijalankan bagaikan menjalankan aktivitas sehari-hari yang tidak disadari (Sindhunata: 2007). Hal ini mungkin dapat dilihat dari siaran-siaran media masa. Hampir setiap hari masyarakat kita mendengar berita tentang pembunuhan. Tidak hanya sebatas itu, kita juga disuguhi modus dan cara-cara pembunuh itu melakukan aksinya menghabisi korban. Kita disuguhi bagaimana pembunuh itu menyembelih korbannya, menguburnya.

Banalitas kejahatan ini akan semakin berkembang di masyarakat seiring adanya krisis legitimasi. Menurut Jurgen Habermas, krisis legitimasi (moral) ini menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap sering mempercontohkan tindakan-tindakan melanggar moral (Yasraf A. Piliang: 2007). Rakyat tidak lagi percaya kepada Presiden, DPR, ABRI, Polisi, Gubernur, Bupati, Camat atau kepala desa. Berapa banyak contoh-contoh perilaku amoral yang dilakukan oleh para penguasa. Sebagai contoh adalah perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang korup, suka bermain wanita, adu otot dengan anggota dewan lainnya, sehingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menganggap DPR sebagai Taman Kanak-kanak, atau malah Play Group.

Mungkin puisi kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana karya Musthofa Bisri atau Gus Mus cukup untuk menggambarkan hal tersebut. Gus Mus menulis:Aku harus bagaimana //Aku Kau suruh menghormati hukum // Kebijaksanaanmu menyepelekannya // Aku kau suruh berdisiplin Kau mencontohkan yang lain. . . . Kau ini bagaiman // Kau suruh aku menggarap sawah // Sawahku kau tanami rumah-rumah // Kau bilang aku harus punya rumah // Aku punya rumah kau meratakkannya dengan tanah // Aku harus bagaimana // Aku kau larang berjudi // Permainan spikulasimu menjadi-jadi // Aku Kau suruh bertanggungjawab // Kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bish shawab.

Secara puitis Gus Mus menggambarkan bagaimana mungkin rakyat akan mengikuti imbauan-imbaun penguasa, pada saat yang sama para penguasa itu melanggar apa yang mereka katakan. Diibaratkan tangan kanan pemerintah membawa roti sementara tangan kirinya membawa pukulan. Rotia tiada seberapa mengenyangkan, namun kepala babak belur oleh pemukul. Dari kutipan terakhir pusi tersebut, Gus Mus ingin mengatakan bahwa penguasa tidak mau bertanggungjawab atas keputusan dan kebijakannya, atas nasib rakyatnya. Inilah yang menyebabkan rakyat acuh-tak acuh lagi terhadap seruan penguasa.

Di samping itu, krisis legitimasi terjadi karena negara telah banyak melakukan, kembali pada definisi Galtung, kekerasan struktural. Kekerasan ini menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. Hal ini nampak pada ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untu mengambil keputusan mengenai distribusi sumberdaya pun tidak merata (I Marsana Windhu: 1992). Berkumpulnya sekitar 80 persen rupiah di Jakarta adalah bukti tidak meratanya pembangunan. Daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, seperti Papua dan Aceh, justru menjadi daerah paling miskin dan tertinggal. Berpuluh-puluh jalan tol dibangun di Jakarta yang luasnya tidak seberapa, tetapi berapa puluh kilo meter jalan di Kalimantan dan Papua masih tanah yang ketika hujan berlumpur dan ketika musim kemarau ditutupi oleh debu. Desentralisasi politik memang telah dilakukan, tetapi tidak demikian dengan desentralisasi kesejahteraan. Kita masih sering mendengar berita tentang busung lapar, gizi buruk di bagian negeri ini yang kono adalah negeri gemah ripah loh jenawi, toto tentren kerta raharja. Busung lapar, gizi buruk adalah penghambat proses aktualisasi potensi diri manusia, padahal sebenaranya hal tersebut dapat dicegah atau diatasi. Karena hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan kelangsungan dan kelestarian hidup, kebebasan, kesejahteraan maka hal ini termasuk pada kekerasan struktural.

Kekerasan struktural, sebagaiman sifatnya, dia mencakup lingkup yang luas. Namusn selalu saja, masyarakat bawah yang selalu menjadi korban. Para petani telah sekian lama mengalami kekerasan ini. Lahan pertanian yang semakin sempit, karena lahan-lahan tersebut kini beralih fungsi sebagai perumahan, perkantoran atau jalan tol. Mereka lebih sengsara oleh karena mahal dan minimnya pupuk. Dan laksana jatuh tertimpa tangga, ketika panen hasil penen mereka dibeli dengan harga oleh pemerintah atau oleh monopoli para pemodal.

Masyarakat bawah yang sering menjadi korban adalah kaum miskin kota. Mereka tidak mendapat akses pekerjaan. Pengangguran merajalela. Dalam kondisi seperti ini mereka sering mendapatkan terror, penggusuran oleh aparat, dengan dalih keindahan dan kebijakan. Dalih untuk kebaikan dan kesejahteraan ini juga yang sering digunakan untuk melakukan penindasan kepada rakyat. Kasus tukar guling sebuah sekolah di Sampang Siantar menjadi satu bukti bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah tidak benar-benar memihak kepada rakyat, tetapi kepada pemodal. Ini diketahui setelah ternyata lokasi sekolah tersebut akan dijadikan sebagai pusat perbelanjaan. Sepanjang kekuasaan mengabdi kepada pemodal, bukan kepada rakyat, maka kekerasan struktural ini akan masih tetap eksis, karena rakyat hanya bagian dari mesin penghasil uang, dan pemerintah tidak ubahnya panitia dari hajatan besar bernama pasar bebas. Masyarakat yang berorientasi pada kapital, pasar, maka gaya hidupnya pun akan beroreintasi pada materialisme. Orientasi masyarakat ini adalah menumpuk keuntungan yang sebesar-besarnya lewat produksi dan konsumsi, tanpat terlalu ambil pusing dengan persolan-persoalan moral, idiologi, dan spiritual dalam proses produksi dan konsumsi tersebut.

Kekerasan dan Masa Depan Bangsa
Kekerasan yang telah lama terjadi dan dilakukan secara terstruktur menjadikan bangsa ini lupa terhadap nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Di kalangan masyarkat yang tersisa adalah rasa saling curiga. Masyarakat yang semacam ini akan sangat mudah tersulut konflik dan akan terjadi kekerasan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dan bangsa ini akan terus dihantui oleh horor-horor kekerasan. Untuk itu perlu segera ada langkah untuk mencegah terulang sejarah-sejarah kelam bangsa ini. Harus ada pendekatan yang holistic terhadap peristiwa kekerasan. Segala kekerasan harus dilihat dalam rangka kekerasan yang lebih luas, yaitu kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan cultural, kekerasan simbol, kekerasan media dan kekerasan lainnya.

Dalam hal ini, Richard A. Falk, sebagaimana dikutip I Marsana Windhu (1992), mengajukan empat nilai yang akan menjadikan kehidupan lebih baik, yaitu a) Usaha meminimalisasi kekerasan Kolektif, b) maksimalisasi sosial dan ekonomis, c) realisasi hk-hak asasi dan keadilan politik dan d) rehabilitasi, menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, penggalian kepada kearifan-kearifan budaya lokal. Lembaga-lembaga moral, cultural, spiritual dibutuhkan unutk menjembatani dialog dan membuka ruang public, sehingga terwujud kedewasaan demokrasi.

M. Habibi, Kabid Ukhuwah dan Jaringan KP HMI Cab. Yogyakarta.
Tulisan ini telah dimuat dalam MAJALAH "ISRA" PUSHAM UII Edisi Juli 2009.

Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 03:26 0 komentar

Label: Wacana, Wawasan Sosial


23 Juni 2009
Melawan Sang Penindas, Membela Yang Ditindas

Oleh: Ihab Habidun

Betapa sering kita mendengar suara adzan…Allahu Akbar!Allahu Akbar!...Namun, apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan isi panggilan itu?... AllahuAkbar bermakna(dalam bahasa yang tegas):berilah sanksi pada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecahbelah umat!Carilah ilmu sampai ke negeri Cina…berikan kebebasan, bentuklah majlis syura yang mandiri, dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar! (Raif Khoury)

Melawan adalah kata yang sering dipelintir. Melawan sering diasosiasikan secara negatif. Melawan sering disebut memberontak, mengganggu, dan merusak. Orang yang melakukan perlawanan sering dikatai pengacau situasi, pengganggu stabilitas, dan perusak tatanan. Pada masa Orde Baru, yang kritis dan melawan sering dicap PKI, golongan kiri atau komunis. Di masa SBY, orang yang mengkritik, memprotes, dan berdemonstrasi menolak kenaikan BBM dilabeli penghalang rezeki orang miskin. Tampaknya, segala yang berbau perlawanan terhadap yang mapan telah dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang negatif, yang perlu dipadamkan, disingkirkan dan dikuburkan.

Melawan sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Justeru dalam banyak hal, melawan adalah tindakan sadar untuk melakukan pembebasan agar kehidupan yang lebih baik tercipta. Melawan merupakan reaksi terhadap dominasi, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Tengoklah bukti-bukti perlawanan dalam sejarah dunia. Perlawanan rakyat perancis tahun 1789 karena penerapan monarki absolut dan penarikan pajak yang memberatkan rakyat, serta rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Perlawanan rakyat Iran tahun 1979 menentang rezim syah Reza Pahlavi yang korup dan menindas rakyat. Juga para pejuang kemerdekaan negeri ini yang melawan karena kolonialisasi, eksploitasi, dan tindakan biadab para penjajah yang menempatkan rakyat pribumi di kasta terendah.

Untuk sebuah pembebasan, gerakan perlawanan harus menanggung banyak korban. Ingatlah para pahlawan yang tercatat di buku-buku sejarah kita. Begitu banyaknya, sampai kita susah menghafalnya. Belum lagi, “pahlawan” yang tidak dianggap pahlawan. Karena dianggap kiri, radikal, atau tidak mempunyai posisi strategis. Termasuk ribuan hingga jutaan rakyat yang menjadi tumbal kebengisan meneer-meneer Belanda dan Jepang. Mereka itulah pahlawan sejati yang ikut mengantarkan negeri ini ke gerbang kemerdekaan.

Begitu mulianya sebuah perlawanan. Maka perlawanan adalah perjuangan. Perlawanan adalah keniscayaan. Untuk apa? Untuk menghapus setiap struktur yang menindas manusia. Agar manusia kembali pada kedudukannya sebagai manusia. Manusia yang tidak saling menindas. Manusia yang menghargai hak asasi. Manusia yang memanusiakan manusia. Bukankah doktrin agama mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kelompok selama kelompok tersebut tidak berupaya merubahnya?

Agama Perlawanan
Islam sendiri merupakan agama perlawanan. Muncul di tengah struktur masyarakat diskriminatif dan eksploitatif. Islam mendobrak, menentang, dan melawan segala yang mapan dan menindas waktu itu. Islam melawan segala bentuk ketidakadilan seperti, eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dominasi budaya dan gender, serta segala corak disequlibrium (ketidakseimbangan) dan apertheit (Mansour Fakih:2000).

Islam menentang penindasan. Ketika orang-orang kaya membuat siasat-siasat regulasi pengorbanan, yang sebenarnya hanya didistribusikan untuk orang-orang kaya dan penguasa suku-suku Arab, al-Qur’an mengecamnya sebagai penentuan yang buruk (QS. Al-An’am:136). Dan ketika mereka menumpuk-numpuk harta, al-Qur’an secara tegas mengancamnya dengan akan dimasukkan ke neraka Hutamah (QS. Al-Humazah: 1-9). Pun dengan mereka yang sukanya menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, diancam dengan siksaan pedih dan menyakitkan (QS. At-Taubah:34).

Islam menentang berbagai bentuk eksploitasi. Praktek riba yang eksploitatif dan hanya menguntungkan kaum borjuasi ditentang habis-habisan. Orang yang memakan harta riba diancam tidak bisa berdiri di hari kiamat (QS. Al-Baqarah:275). Bahkan begitu dibencinya praktek riba tersebut, Allah SWT dan Rasul-Nya menyiapkan genderang perang terhadap siapa saja yang tidak mau meninggalkan praktek riba (QS. Al-Baqarah: 279). Orang yang berbuat curang menakar dan menimbang dalam perdagangan dikecam akan mendapat kecelakaan yang besar (QS. Al-Muthaffifin: 1-5).

Islam menekankan keadilan distributif. Keadilan yang dikatakan Asghar Ali Engineer seratus persen berlawanan dengan tradisi penumpukan dan penimbunan harta kekayaan waktu itu. Al-Qur’an menganjurkan orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin, agar kekayaan tersebut tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7). Bagi yang punya harta berlebih dianjurkannya bershadaqah dan diwajibkan berzakat.

Islam melarang menghina orang miskin. Orang yang memberikan shadaqah pada kaum lemah harus dengan cara yang baik. Sekalipun shadaqah bersifat sukarela, al-Qur’an menitahkan supaya dalam memberi tidak menyinggung perasaan si penerima (QS. Al-Baqarah: 262-263). Memberi juga tidak boleh dimotivasi oleh keinginan untuk dipuji atau riya (QS. Al-Baqarah: 264). Memberi harus dilandasi keikhlasan. Memberi harus lepas dari logika pertukaran. Memberi adalah memberi, kata Jacques Derrida.

Islam membela kaum miskin, lemah dan terpinggirkan. Islam menyebut siapapun sebagai orang yang mendustakan agama, meskipun ia beragama, bila dalam tingkah lakunya menghardik anak yatim, tidak peduli orang miskin, serta tidak mau menolong dengan barang yang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7). Islam juga melindungi hak-hak buruh dari kaum-kaum yang mempekerjakannya. Nabi mengajarkan: berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering (Ibnu Majah).

Islam agama pemberontak. Ketika sebuah struktur masyarakat menindas; yang mapan mendominasi yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, kaum borjuis menghegemoni kaum ploretar, Islam berteriak lantang menyerukan perlawanan. Mengapa kamu tidak mau berpegang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau!”(Q. S. al-Qashash ayat 7).

Itulah nota-nota ajaran Islam yang sangat jelas. Fakta-fakta normatif yang revolusioner, yang menentang struktur masyarakat yang menindas, sekaligus ancaman bagi kemapanan kaum borjuasi. Bukti bahwa Islam membela kaum lemah dan terpinggirkan. Bukti bahwa Islam bukan pembela para elit melainkan orang alit. Bukti bahwa Islam bukan agama yang pro para pencekik melainkan membela wong cilik.

Sang Pembebas
Fakta-fakta normatif di atas sejalan dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Sang pembebas yang selalu siap menapaki jalan terjal dan menanggung resiko atas perlawanan yang ia lakukan. Abdurrahman asy-Syarqowi, seorang sejarawan terkenal menyebutnya sebagai pribadi yang mengagumkan, seorang pahlawan yang tidak pernah bergeming melawan kekejaman, kebrutalan dan kebengisan dalam berbagai kondisi, demi terwujudnya cinta kasih antar sesama manusia, keadilan, kebebasan dan masa depan yang sejahtera, serta tanpa diskriminasi.

Bahkan sewaktu remaja, jauh sebelum kerasulannya, telah tampak padanya bibit-bibit sebagai tokoh intelektual sejati (rausyan fikr). Rausyan fikr adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya (Ali Syari’ati:1986). Dalam dirinya mulai tertancap bangunan sense of social crisis yang mengagumkan. Bahwa hidup harus gelisah, harus bertanya, dan harus mencari kemungkinan jawaban atas berbagai problematika sosial. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Hidup juga untuk orang lain, untuk kaum miskin, lemah dan terpinggirkan.

Dari situ Nabi Muhammad mulai mengisolasi diri dan berkontemplasi. Bukan untuk lari dan memenuhi kepentingan sendiri. Bukan untuk mencari aman demi kenyamanan pribadi. Di situ Nabi Muhammad merenung dan mencari segenap alternatif bagaimana memecah kebuntuan sosial. Dan benar saja, di bawah lindungan Yang Maha Kuasa, sejak kerasulannya, Nabi Muhammad menyikapi kenyataan masyarakat Arab dengan tegas bahwa patung-patung hanyalah tipu muslihat dan kesesatan yang nyata. beliau menyeru bahwa Tuhan itu Maha Agung dari batas semisal Ka’bah, bahkan makkah. Dia di setiap tempat. Tak ada rupa bagi-Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Hanya dialah yang patut disembah. Di sisi-Nya tak ada diskriminasi antara hamba sahaya dan bangsawan-bangsawan terkemuka, antara si papa dan si kaya raya, dan antara pria dan wanita. Tuhan tidak mentolelir perzinahan, riba, pembunuhan, dan kesombongan. Dia mengutuk orang-orang yang menumpuk emas dan perak, tanpa mau mendermakannya pada fakir miskin. Dia akan membakar tubuh orang-orang yang suka mempermainkan hak-hak orang lain, yang suka mencuri sukatan dan timbangan. Dia juga meninggikan martabat orang miskin.

Bersama umatnya, beliau mulai membebaskan budak-budak. Sebagai pribadi, beliau tidak suka kenyang sendiri, sementara tetangganya kelaparan. Beliau membenci kebohongan dan kepalsuan. Tak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Tak pernah melakukan kepalsuan untuk mencuri keuntungan. Baginya, sebuah janji adalah suci. Karena itu beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang menyebabkan dijauhi orang.

Tapi, seperti guratan alam yang mudah ditebak. Melawan berarti mengundang resiko. Nabi Muhammad harus menanggung semua resiko. Oleh para penentangnya, tak jarang Nabi dilecehkan, dihina, dianggap gila, dan diancam pembunuhan. Nabi juga pernah di ludahi, dilempari batu dan kotoran. Bahkan di separo hidupnya ia harus siap di tebas di medan perang. Semua resiko itu dilakoni dengan penuh kesabaran dan konsistensi untuk mencapai dunia baru. Dunia yang adil dan beradab.

Langka
Namun, Budaya perlawanan dan kesiapan menanggung resiko adalah kisah langka di masa kini. Tumpukan data-data pembebasan adalah kisah usang yang hanya menempel di buku-buku sejarah keislaman. Islam yang membebaskan masih menempel di teks-teks agama yang belum banyak tertransformasikan dalam kehidupan masyarakat.

Sekarang adalah masa Islam di tarik-ulur dan diperdebatkan. Sekarang adalah masa Islam dijadikan arena saling sesat-menyesatkan. Islam adalah medan ritualisme dan simbolisme. Dimana penganutnya sudah merasa cukup kala ritual kegamaan sudah dilaksnakan. Merasa nyaman kala berbagai produk atau lembaga di stempel syariah. Islam adalah tumpukan penelitian kuntitatif-kualitaif dalam teks-teks skripsi, tesis, dan disertasi. Inilah zaman Islam dijual. Tema-tema keislaman dijadikan jargon-jargon politik. Amanah dan kejujuran dijadikan alat kampanye untuk mencari simpati publik. Produk-produk kebudayaan muslim dianggap komoditas yang menjanjikan dan dipakai hanya sebatas mode.

Tak aneh bila yang menolak undang-undang penanaman modal asing, yang menentang sewa murah hutan lindung, yang menolak pemberlakuan BHP, yang mati-matian membela hak-hak buruh, yang menolak keganasan korporasi-korposari asing, yang menolak proyek pasir besi, yang menuntut hak-hak korban lapindo, yang memprotes penjualan aset-aset Negara, hanyalah segelintir orang saja. Kekayaan yang hanya berputar di orang-orang kaya juga luput dari perhatian. Alih-alih keadilan distributif yang terjadi, justeru korupsi yang menjadi.

Pemilu pun tampak seperti ritualisme Machiavellian. Liberalisme politik dibungkus atas nama demokrasi. Semua orang berebut kekuasaan dengan segala cara. Tak urusan dengan money politik dan janji yang menipu. Pokoknya dapat duduk di kursi dewan. Urusan rakyat nanti kalau sudah kembali modal. Hasilnya, pemilu yang menghabiskan triliunan rupiah itu tampak seperti perlombaan gaya dan citra untuk menarik simpati publik. Pemilu adalah arena kebijakan populis dan jargon politis yang digunakan untuk mengelabui rakyat.

Anehnya, sedikit sekali kalangan muslim yang bercerita tentang kebobrokan demokrasi liberal tersebut. Sebagian malah berusaha mendukung dengan segenap pendapat dan fatwa, seolah inilah demokrasi yang sejati.

Bukan candu
Hal itu terjadi karena Islam dipahami secara dangkal, yaitu sebatas ritualistik dan simbolik. Itulah sebabnya, banyak orang berislam hanya dengan mengaku-aku lewat KTP. Cerita orang Islam korupsi, membohongi publik, menipu rakyat, mengobral janji yang tak ditepati, termasuk kelompok ini. Juga berislam yang puas memakai produk budaya Arab, sementara diam terhadap problem sosial. Mereka sigap menepis agama bukan candu, tapi menjadikannya agama seperti macan ompong yang meninabobokan rakyat.

Memang Islam bukan agama candu. Maka jangan dibuat candu masyarakat. Islam agama perlawanan bagi yang menindas. Maka jangan hanya rakyat disuruh bersabar. Islam juga Kiri Islam, kata Hassan Hanafi. Islam menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat islam, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama setara “seperti gerigi sisir” (Hassan Hanafi:1981).

Ali syari’ati mengatakan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian, Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan, dan penghapusan kemiskinan. Karena itu, Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya, lebih dari itu, ia sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.

Dan kini, kita membutuhkan paradigma Islam seperti yang diungkapkan tokoh-tokoh Islam pembebasan, seperti yang diungkap Asghar Ali Engineer, Ali Syari’ati, dan Hassan Hanafi. Islam yang berparadigma sosial kritis. Islam yang melawan sang penindas dan membela yang ditindas (Allahu a’lam bi al-shawab).


Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Majalah isra PUSHAM UII Edisi April 2009.


Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 23:20 0 komentar

Label: Wacana, Wawasan Sosial


01 Februari 2009
Masyarakat madani Indonesia

Oleh: Mukhamad Habibi

Wacana masyarakat madani sebenarnya sudah sejak lama berkembang di Indonesia. Istilah ini mula-mula disampaikan Anwar Ibrahim dalam Festival Istiqlal pada tahun 1995. Meski demikian, penggagas awal masyarakat madani ini adalah Muhammad Naquib Al-Atas yang kemudian dielaborasi oleh Nurchalis Madjid. Masyarakat madani adalah satu citi-cita masyarakat ideal.

Menurut Naquib Al-Atas, Masyarakat madani adalah terjemahan dari al-mujtam’ al-madani. Kata madani sendiri memilki asal kata yang sama dengan ad-din atau agama yang juga merupakan asal kata dari tamaddun yang berarti peradaban. Di samping itu, kata madani jugu mempunyai akar yang sama dengan kata madinah yang berarti kota. Sehingga di sini ada keterkaitan antara agama (din), kota (madinah) dan peradaban (tamaddun). Masyarakat madani sendiri seringkali disamakan dengan isitlah civil society yang berasal dari khazanah pemikiran Barat. Civil society adalah masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang merdeka, masyarakat yang pauh pada hukum.


Masyarakat madani dalam pemikiran Islam merujuk pada masyarakat Islam generasi awal, yaitu masyarakat yang di bangun oleh nabi di madinah yang semula bernama Yatsrib. Penggunaan nama madinah sendiri untuk membedakannya dengan golongan Barbar yang hidup nomaden. Dirujuknnya masyarakat madani pada masyarakat madinah ini karena masyarakat Madinah memiliki toleran yang tinggi terhadap sesama masyarakat, penghargaan dan kepatuhan pada hukum atau kesepakatan bersama yang ditunjukkan oleh Piagam Madinah.

Merujuk pada isi Piagam Madinah Nurchalis Madjid melihat, setidaknya ada empat prinsip yang membangun masyarakat madani: Pertama egaliterian, yaitu persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga. Tidak ada kolompok atau golongan yang lebih tinggi dari yang lain. Kedua, penghargaan kepada masyarakat diberikan atas dasar prestasi. Ketiga, keterbukaan dan partisipasi masyarakat. keempat, supremasi hukum tanpa pandang bulu. Kelimaa, inklusivisme yaitu sikap keterbukaan, rendah hati dan toleransi. Keenam, musyawarah. Sejalan dengan Nurcholis Madjid, AS. Hikam merumuskan empat ciri utama masyarakat madani, yaitu, kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memilki kekhasan sosial-budaya. Merupakan fakta historis bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majmuk, yang terdiri dari beragam suku, budaya, bahasa dan agama. Masing-masin suku, budaya dan bahasa memiliki satu sistem nilai yang berbeda. Kemajemukan ini akan menjadi bencana dan konflik yang berkepanjangan jika tidak dikelola dengan baik.

Kebhinekaan dan kearifan budaya lokal inilah yang harus dikelola sehingga menjadi basis bagi terwujudnya masyarakat madani, karena masyarakat madani Indonesia harsu dibangundari nilai-nilai yang ada didalamnya, bukan dari luar. Dengan demikian, menurut Tilaar ciri-ciri khas masyarakat madani Indonesia adalah a). Kergaman budaya sebagai dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan identitas nasional, b). Adanya saling pengertian di antara anggota masyarakat, c). Adanya toleransi yang tinggi, dan d). Perlunya satu wadah bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum.

Perwujudan masyarakat madani indonesia adalah usaha holisitk yang mencakup a). aspek suprastrukur, yaitu bangunan paradigma tauhid, b). aspek sosial budaya yaitu adanya budaya masyarakat yang terdidik dan mandiri. c). Aspek struktur yaitu pada perbaiakan dan penguatan pada basis sistem kenegaraan. Wallahu a’lam bi masyarakat madani Indonesia.





Read More..
Diposkan oleh pengaderjogja.blogspot.com di 14:39 0 komentar

Label: Wacana, Wawasan Sosial


21 Januari 2009
Masyarakat Miskin Dalam Kawasan Muslim

Oleh: Abu Amar

Timbul pertanyaan dalam sanubari kita, apakah memang benar bahwa kemiskinan itu memang kehendak illahi yang sudah baku dalam penerapannya pada kehidupan manusia, ataukah kita sebagai manusia masih dapat merubah takdir itu dengan daya upaya kita. melihat firman Tuhan “ Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali dengan usahanya sendiri”. dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa takdir itu tidak mutlak dalam penerapannya oleh Tuhan jadi masih dapat dirubah tinggal kemauan manusia sebagai subjek.


Berbicara kemiskinan kita akan dihadapkan pada tipologi kemiskinan.pertama Kemiskinan karena kehendak Tuhan (taqdir), pada pembahasan kita ini, tipologi kemiskinan ini kita tiadakan dengan asumsi bahwa tidak ada kemiskinan yang dilatar belakangi kehendak Tuhan, kutipan ayat suci diatas kiranya jelas kita jadikan argumen. Kedua Kemiskinan Struktural.tipologi kemiskinan ini disebabkan adanya faktor eksternal dalam diri manusia sehingga dia tidak mampu berusaha secara maksimal dalam menunjang kehidupannya.Ketiga Kemiskinan karena kemalasan manusia.dalam kajian kita ini kita akan lebih memfokuskan pada jenis kemiskinan struktural.

Kemiskinan struktural banyak dilatar belakangi oleh sistem yang diterapkan dalam masyarakat kurang memihak pada kaum miskin, kebanyakan kemiskinan jenis ini banyak dialami dalam masyarakat kapitalis atau masyarakat yang berkembang, yang mana dalam jargon mereka “kemiskinan masyarakat disebabkan kemalasan mereka sendiri”.

Bagaimana dalam masyarakat Islam sendiri kemiskinanpun merajalela,apakah itu merupakan suatu taqdir Illahi ? ataukah sistem yang berkembang dalam masyarakat Islam tidak memihak kaum miskin ? kita harus mencari dimana letak kesalahan masyarakat kita sehingga kemiskinan menggerogoti kita padahal dalam ajaran kitab suci kita diajarkan untuk berbagi dengan yang lainnya melalui media zakat, bahwa dalam harta kita terdapat harta fakir miskin.

Pemahaman yang dangkal umat terhadap nilai ajaran agama akan berdampak pada pola prilakunya dalam masyarakat. kedangkalan pemahaman ajaran agama telah membuat konstruk keber-agama-an masyarakat sebatas simbolis, agama hanya dipahami sebatas identitas tanpa mampu dipahami secara substansiil,implikasinya tidak mampu menyentuh ranah kognitif masyarakat, sehingga dalam interaksi masyarakat, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama banyak yang terreduksi. Islam yang seharusnya mengajarkan suatu masyarakat yang egaliter berubah menjadi ajaran masyarakat otoriter individual.

Sistem masyarakat bergantung pada paradigma yang berjalan pada masa sistem itu dikonstruk. Jika paradigama yang melatar belakangi konstruk sistem masyarakat dekat dengan kaidah normativitas agama maka cenderung sistem yang dihasilkan akan selaras dengan ajaran agama. mengutip kata Immanuel Kant “Bangsa-bangsa setan dapat membuat konstitusi yang baik, dan sesuai kaidah nilai kemanusiaan”, namun pada sisi lain konstitusi yang dihasilkan mempunyai sifat pragmatis yang hanya mengeksploitasi manusia sebagai objek, bukan memberdayakannya sebagai mahluk yang merdeka. begitu juga umat Islam akan mempunyai selera yang sama mengeksploitir terhadap sesamanya yang lemah demi tujuan pribadinya, jika paradigma yang dipakai jauh dari normativitas ajaran agama.

Kata miskin dan kaya tidak mungkin dapat kita hilangkan dari permukaan bumi ini, meskipun kita memakai sistem masyarakat tanpa kelas yang dideklarasikan Karl Marx dalam masyarakat kita, tetap saja kemiskinan akan melanda sebagaian masyarakat bukan karena taqdir Tuhan namun ukuran kemiskinan itu berubah tingkatanya dari prihatin ke tangga layak dan seterusnya begitu juga orang kaya akan terus naik grade-nya, tak mungkin ada orang yang mau berjalan ditempat dimasa sekarang ini. Yang patut kita perjuangkan adalah nilai keadilan dalam sebuah masyarakat bukan penghapusan kemiskinan, sepanjang ada orang kaya pasti akan ada orang miskin karena itu oposisi biner yang akan menghiasi hidup

Comments

Popular posts from this blog

KUMPULAN MATERI LK1: WAWASAN ILMU

Wawasan Ilmu Di bawah bayang-bayang kematian Islam Oleh : Ihab Habudin ‘Tahu’ dan ‘Pengetahuan’ Manusia adalah mahluk sempurna. Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks sekarang ini. Misalnya saja, Darinya kita tahu dan mengenal ada Handphone Star Tech (ST 21) yang harganya Cuma Rp. 199.000.- plus kartu pedana ‘bebas’, tarif temurah, dan 600 sms gratis dengan fasilitas dual band GSM 900/1800 MHz, CFTN Nistual, Colour Background 1,5 inci, Predictive text input, polyphonic, speaker phone, jam alam, jam digital dan kalkulator kalender, baterai Li-Ion 700 MAH hingga si Nokia Connecting People (N5310) yang dengannya kita bisa memutar musik hingga 18 jam, radio FM dengan Radio Data System (RDS), Layar dengan 16 Juta warna yang tajam termasuk kamera 2 megapixel serta Mikro SD 512 MB. Atau tidak perlu rumi